Tag

, , , , , , , ,

Bandung Mawadi

Buku sejarah memuat kongres-kongres fenomenal: Kongres Boedi Oetomo, Kongres Sarekat Islam, Kongres Pemuda, Kongres Perempuan, Kongres Bahasa Indonesia. Aku dan teman-teman pun mengadakan kongres: 4-5 Mei 2013. Kita menamai peristiwa dua hari di Bilik Literasi dengan sebutan agung: Kongres Ki Hadjar Dewantara. Acara ini sengaja memerkarakan Ki Hadjar Dewantara menurut kaum muda di abad XXI.

Kongres Ki Hadjar Dewantara tak pantas masuk buku sejarah. Aku cuma ingin orang-orang mengenang tentang ulah kaum muda “merawat” warisan-warisan Ki Hadjar Dewantara. Orang-orang berkumpul selama dua hari: obrolan dan orasi. Mereka makan bersama dengan menu nasi liwet, soto, lele. Camilan dan minuman selalu ada agar tak ada orang mengantuk atau lapar. Teman-teman tampak bergairah dan waras. Aku mempersilakan mereka menginap meski cuma rebah di karpet. Mereka tergeletak sembarangan untuk tidur tak lelap. Mereka tidur bersama ribuan buku dan mengimpikan Ki Hadjar Dewantara. Ha!

Ada seorang lelaki menggugat-mengingatkan di ujung kongres: “Apakah kita memang tak merasa perlu membicarakan Nyi Hadjar Dewantara?” Aku lekas memberi jawab mengacu ke pengantar di pembukaan kongres: “Kita mengurusi Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh dan tema. Ki Hadjar Dewantara pun hidup bersama tokoh-tokoh untuk menjadi tokoh.” Aku memberi daftar pendek: Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, Ki Ageng Suryomentaram, Rabindranath Tagore, Soerjopranoto, Soekarno, Nyi Hadjar Dewantara…

Kongres Ki Hadjar Dewantara memang tak ingin mengeluarkan keputusan-keputusan politis atau rekomendasi. Kita cuma berikhtiar membaca, menulis, membuat obrolan, menerbitkan buku. Aku memang sering mengingat dan mengutip ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara. Aku justru ingin terus mengingat melalui sosok Soerjopranoto selaku “mas”. Tokoh ini mesti dibicarakan agar ada keterpautan biografi dan ide.

Soerjopranoto lahir di Jogjakarta, 11 juni 1871, bernama Iskandar. Penggunaan nama Soerjopranoto terjadi saat menikahi Jauharin Insjiah. Soerjopranoto tumbuh sebagai bocah bertabiat pemarah. Tabiat ini mengandung pengertian melawan kemunafikan, feodalisme, kolonialisme, diskriminasi. Soerjopranoto sering berulah mengejutkan tapi menimbulkan kesadaran kritis. Adegan lugas ditunjukkan saat Soerjopranoto menghilangkan tulisan “raden mas” di papan nama rumah. Soerjopranoto memang keturunan kalangan ningrat di Pakualaman Jogjakarta. Kehendak menanggalkan titel “raden mas” bermisi bisa bergaul bersama “kaum kromo” alias rakyat.

Soerjopranoto

Hidup dijalani dengan revolusi dan resistensi. Soerjopranoto sejak remaja telah memulai agenda “revolusi kebudayaan” berkaitan titel, penggunaan bahasa Jawa, sekolah, pergaulan sosial… Revolusi kebudayaan berdalih menjebol akar-akar feodalisme dan menantang kolonialisme. Aku merasa ulah Soerjopranoto tampak mengarah ke kaum kromo sebagai kaum tertindas atau kaum korban dari arogansi kekuasaan. Aku menganggap Soerjopranoto adalah pemula tukang onar sebelum Soewardi Soerjaningrat. Idiom-idiom Soerjopranoto khas rakyat. Revolusi mesti dijalankan agar rakyat terbebaskan dari “perbudakan jiwa”.

Penjelasan-penjelasan ini termuat di buku berjudul Raja Mogok R.M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan (Hasta Mitra, 1983) susunan Bambang Sukawati. Aku sejak mula jengkel dengan judul. Soerjopranoto sengaja “membuang” gelar “raden mas” sejak awal abad XX. Penulis justru memberi judul buku dengan “R.M.” Fatal! Aku juga merasa janggal dengan kebijakan penerbit Hasta Mitra. Penerbit tak melakukan sensor judul. Pembaca tentu merasa risih jika membaca judul dibandingkan dengan isi buku. Oh!

Buku ini telah aku dapatkan saat jadi penganggur usai lulus SMA. Aku membaca dengan tafsiran-tafsiran dangkal. Buku setebal 100 halaman belum sanggup merangsang imajinasi-imajinasi impresif tentang tokoh dan sejarah negeri terjajah. Aku menduga bahwa Bambang Sukawati tak lihai mengolah bahan-bahan untuk membiografikan Soerjopranoto.

Buku ini terbuka lagi usai pelaksanaan Kongres Ki Hadjar Dewantara. Aku tak berhasrat mencari informasi pengaruh Soerjopranoto bagi Ki Hadjar Dewantara. Soerjopranoto aku baca sebagai tokoh berulah meski jarang dibicarakan di buku-buku sejarah. Pergaulan dengan H.O.S Tjokroaminoto, Van Deventer, Van Hinlopen Labberton, Semoaen, Agus Salim… membuktikan Soerjopranoto adalah tokoh berpengaruh dalam pergerakan politik-kultural. Nama ini sering kalah pamor dengan Ki Hadjar Dewantara.

Soerjopranoto turut membesarkan Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Soerjopranoto juga terlibat di pergerakan buruh dan tani. Agenda memartabatkan kaum pribumi dijalankan dengan peran sebagai pendidik-pengajar di Taman Tani. Soerjopranoto tak cuma bergerak di gedung rapat, jalanan, pabrik. Ide-ide disebarkan melalui tulisan-tulisan. Soerjopranoto adalah ahli propaganda meski tak fasih berpidato.

Bambang Sukawati menulis: “Banyak orang mengira Soerjopranoto yang menangani program SI di bidang gerakan buruh dan tani adalah seorang yang memiliki kecenderungan sosialis. Ada pula yang menyebut di sebagai nasionalis kiri. Akan tetapi nyatanya ketika tahun 1920, tokoh-tokoh kiri Sarekat Islam terutama Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin dan yang lain-lain memisahkan diri dari partai dan mendirikan PKI ternyata Soerjopranoto tidak berada dalam barisan orang-orang ini.” Aku bisa menerima penjelasan ini meski meragukan kompetensi Bambang Sukawati menempatkan latar sejarah politik dan argumentasi.

Buku ini memang pengantar mengenali Soerjopranoto. Uraian-uraian sering tak menjelaskan Soerjopranoto. Aku menganggap bahwa penulis sulit menarasikan tokoh dengan bahan-bahan terbatas. Penggunaan bahasa pun kurang memikat. Pembaca seolah membaca penggalan-penggalan tanpa keurutan pengisahan dan penjelasan argumentatif. Buku ini telanjur terbit. Aku merasa lega saat keinginan mengenali Soerjopranoto dijelaskan secara apik oleh Budiawan di buku Anak Bangsawan Bertukar Jalan (LKiS, 2006). Begitu.