Tag

, , , , ,

Bandung Mawardi

Konon, ada peringatan 100 tahun perfilman di Jakarta. Ingat film Indonesia, aku selalu ingat Usmar Ismail. Orang-orang juga sudah tahu, Usmar Film adalah tokoh film di Indonesia, pemberi makna film bagi keindonesiaan. Aku menduga bahwa orang-orang cuma tahu bahwa Usmar Ismail adalah orang film. Usmar Ismail sebagai penggubah naskah-naskah teater mungkin cuma dikenali puluhan orang di Indonesia.

Aku tidak ingin mengulas Usmar Ismail sebagai manusia-film atau manusia teater. Hasratku justru mengarah ke kalangan film Indonesia. Di abad XXI, aku belum menemukan sutradara film memiliki peribadatan sastra. Ha! Aku sengaja menggunakan ungkapan itu agar ada penguatan peristiwa dan makna. Oh! Sutradara-sutradara di Indonesia jarang mengerti sastra. Aku mengartikan mereka sebagai pembaca sastra. Mereka pun sulit menekuni sastra sebagai pengarang. Dugaan dan tuduhan ini bisa dianggap bualan lelaki pesimistik dengan perfilman Indonesia.

Usmar 1

Film-film Indonesia belum mengandung pesona atau pikat sastra. Sekian film digarap berdasarkan novel-novel laris tapi tak mengesankan ada kemudengan sastra dari sutradara atau aktor, diimbuhi ratusan ribu penonton. Aduh! Aku sering membaca keterangan relasi antara novel dan film cuma “pemanis”. Lihatlah film dari novel-novel Indonesia: Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Perahu Kertas, 5 Cm,… Pilihan novel sudah menampilkan selera ganjil. Eh, aku jadi ingat film masa silam, film dari novel-novel populer tapi mengesankan. Aku mengingat film-film dari novel-novel Marga T., Ashadi Siregar, Eddy D. Iskandar…. Ah, film-film cinta picisan dan romantis tapi sulit dilupakan. Lho! Aku terlalu cerewet mengurusi film dan memberi ejekan. Berhenti… Berhenti… Berhenti…

Aku mesti kembali mengurusi Usmar Ismail. Ingatanku atas Usmar Ismail tak melulu berlatar teater atau film. Usmar Ismail aku ingat sebagai pujangga. Wah! Usmar Ismail memang pujangga, menggubah puisi-puisi “biasa” di masa 1940-an. Puisi-puisi Usmar Ismail terbit menjadi buku berjudul Puntung Berasap (1950). Aku memiliki edisi cetakan kedua, terbitan Balai Pustaka, 1957. Buku kecil setebal 48 halaman memberi ingatan tentang Usmar Ismail, pujangga tak tenar.

Di masa pendudukan Jepang, Usmar Ismail menulis puisi berjudul Kudengar Adzan (1943). Puisi ini dipersembahkan bagi Pembela Tanah Air. Aku membaca dengan mata naif dan mengenang sejarah.

Kudengar adzanmu diwaktu subuh

Memudja Tuhan berharap ada lindungan,

Suaramu menjebar benih jakinku tumbuh

Kali ini, engkaulah pembawa gemilang zaman

Dalam badanku lemas dingin sekudjur

Mengalir darah tjair memanas

…..

Para peminat sejarah boleh mengutip puisi Usmar Ismail untuk mengerti pengaruh propaganda Jepang dan resepsi para seniman. Jepang sering membuat kebijakan-kebijakan manipulatif, memberi janji tapi memunculkan kebohongan. Puisi Usmar Ismail adalah catatan kesaksian dari masa lalu.

Usmar Ismail tak ingin menulis peristiwa-peristiwa besar saja. Pujangga tak tenar itu menggubah puisi romantis. Bacalah puisi berjudul Lambang Kasih! Puisi ini mencantumkan keterangan waktu, 1944. Di masa kolonialisme, orang masih berhak melupakan perasaan asmara, mengalami hidup dalam keberlimpahan impian dan cinta. Ah!

Lambang kasih kita, Irma ialah bulan

dikala hati bertemu hati pertama kali,

dikala rusuh didada mulai mendjelma

timbul bulan perbani, laksana arit

perak ketjil melengkung, tadjam

menjangat-ngilu dengan sinarnja

dilangit hati jang rindu.

Puisi picisan! Puisi picisan! Aku terlena, menerima puisi itu tanpa gugatan. Puisi tentang asmara memang sering klise meski tak pernah jemu ditulis oleh para pujangga. Perasaan lembut Usmar Ismail semakin terasa dalam puisi berjudul Tak Kuasa (1944). Puisi tentang jiwa manusia. Impresif!

Kurap-kudis bernanah

luka melelhkan darah

 

membandjiri rasa didada

membendung mata didjiwa

 

Mata pudar-putih

Dalam lemari tjekung-lesi

Aku merasa puisi-puisi Usmar Ismail tentu mempengaruhi dalam penggarapan film. Ada muatan puitis dan dramatis, wajar tak berlebihan. Aku mulai berkeinginan untuk melihat film-film menggunakan mata-sastra.

Usmar 2

Aku tertarik untuk menampilkan perlawanan Usmar Ismail pada Jepang. Perlawanan dengan puisi tentu berbeda dengan mesiu. Aku merasa puisi bisa menjelaskan derita dan pertentangan di zaman kolonialisme. Usmar Ismail tak ada di medan perang, meja perundingan, kantor politik. Usmar Ismail memilih menulis kata-kata di kertas, menjelma puisi. Bacalah puisi berjudul Hubungan, ditulis di bulan Februari 1945, dipersembahakan “buat imperialis kuning”.

Asal kau tahu

Djika kita berdepan muka

bukan sebagai kau dan aku

engkau lambang tampuk kuasa

aku bangsa hendak merdeka

Djika sudah,

kartu terlempar-buku

diatas medja!

Usmar Ismail, aku mengenangmu. Aku selalu mengenangmu tak melulu film. Usmar Ismail adalah pujangga! Aku mengakuimu meski dirimu tak tenar di jagat puisi. Begitu.