Tag

, , , , , , , ,

Bandung Mawardi

Ingat Hamka, ingat ratusan buku, dari novel sampai risalah agama. Aku tak jemu membaca buku-buku karangan Hamka. Tokoh asal Minangkabau pernah “menuntunku” menempuhi jalan literasi, sejak SMA. Aku tak pernah lupa adegan membolos di dekat Masjid Agung Solo. Berdiri, merokok, melihat novel lawas di atas gelaran dagangan ratusan buku. Novel itu berjudul Tenggelamnja Kapal Van Der Wijck. Hamka pun bersamaku, sampai sekarang.

Aku ingin mengingat buku berjudul Peladjaran Agama Islam (Bulan Bintang, 1956). Hamka berlaku sebagai ulama-intelektual, menjelaskan pelbagai hal dalam mendakwahkan Islam. Buku setebal 344 halaman ini termasuk bacaan penting bagiku untuk mengenali Hamka, mengetahui literasi agama Islam di Indonesia, masa 1950-an. Hamka menulis kebermaknaan buku Peladjaran Agama Islam bagi publik: “Mungkin orang jang membatjanja akan mendapat kesan bahwasanja pengupasan ini ialah setjara filosofis, dan mungkin memang demikian. Tetapi tudjuan saja jang sebanarnja hanjalah satu, jaitu mengupas pokok kepertjajaan dalam Islam dengan tjara jang baru…. Dengan pekerdjaan ini saja mengharap bahwa saja telah dapat menjambung usaha terbengkalai daripada ulama-ulama Islam Indonesia jang telah lalu, dalam bentuk dan tjara jang baru.”

XXZ

Hamka selalu mengingatkan peran ulama untuk berdakwah dengan tulisan atau buku. Sekarang, ulama-ulama di Indonesia tak melanjutkan ikhtiar Hamka. Mereka justru kembali membuat jejak literasi agama “terbengkalai”. Aduh! Aku tak bermaksud memberi tuduhan sinis. Kemarin, aku datang ke pameran buku Islam di Solo, bercap pameran terbesar. Kios-kios menjajakan buku-buku agama. Aku melihat tanpa godaan. Aku sulit memilih dan membeli buku agama jika berjudul wagu dan menggarap tema klise. Aku berbisik ke Maman: “Apakah buku-buku ini bisa membuat umat cerdas?” Maman cuma mesem meski ada sejenis persetujuan. Mengapa aku bercuriga bahwa ulama-ulama kita tak melek literasi alias tak menulis buku-buku apik? Apakah mereka tak membaca dan mengoleksi buku-buku karangan Hamka? Ingat, aku tak ingin mengultuskan Hamka tapi mengingatkan ada keteladanan.

Hamka menjelaskan: “… El Kitab itu dua ertinja. Pertama, perintah Tuhan, atau suatu kewadjiban jang dibebankan diatas pundak machluk. Dan erti jang kedua ialah tulisan, didalam buku jang tertentu. Bukan sadja pada kertas, sebab kertas kadang-kadang belum dipakai oleh suatu bangsa. Misalnja kitab jang ditulis diatas daun lontar, sebagaimana terdapat di Bali dan Bugis-Makassar.” Aku sengaja memilih kutipan tentang kitab, rujukan mempelajari dakwah di Indonesia. Apakah pengaruh berdakwah menggunakan kitab dan buku? Apakah jutaan orang pecandu pengajian di masjid, televisi, lapangan, gedung, hotel juga memerlukan buku untuk meningkatkan iman dan takwa?

XXZ1

Hamka sering mengisi pengajian di pelbagai tempat tapi sadar dengan siasat lisan dan tulisan. Hamka tak melulu mengandalkan mulut atau suara. Kata-kata juga bisa “bersuara” saat ada di halaman-halaman buku, mengajak orang belajar agama. Aku pun ingat di sekian toko buku ada buku-buku karangan ustadz-ustadz kondang di televisi. Buku-buku itu sering bercap “best seller”. Aku agak heran: “Buku agama memerlukan cap “best seller” untuk menggoda orang agar membeli dan pamer ke orang lain?” Aku paling prihatin saat ada sekian buku mengenai biografi dan petuah ustadz-artis dipromosikan secara gencar, berdalih ustadz-artis itu telah meninggal dan berkontribusi besar dalam dakwah televisi. Oh! Aku semakin prihatin bahwa pemberitaan dan gosip tentang ustadz-artis itu bertahan selama berhari-hari di televisi.

Orang-orang sudah tak mengingat dan membaca buku-buku Hamka. Mereka memilih buku-buku berkaitan ustadz-ustadz terkenal di televisi. Buku-buku agama karangan Hamka memang jarang dicetak ulang. Novel-novel masih dicetak ulang, dijadikan bahan pelajaran di sekolah. Aku tak ingin membandingkan Hamka dengan ustadz-ustadz televisi. Hamka tak sesombong atau tergoda dengan honor merujuk ke kasus dakwah di televisi dan ustadz atau ulama menjadi aktor iklan-iklan komersial.

XXZ2

Pesan dari Hamka pantas jadi renungan: “Mari kita tindjau zaman kita hidup ini. Kalau tidak hanja memandang dari seginja jang gelap, memang maulah kita rasanja lekas mati sadja! Hasad dan dengki, perebutan pengaruh dan pangkat, musuh memusuhi dan tjemburu mentjemburui, berlaku dimana-mana. Moral tidak ada nilainja, jang bernilai ialah benda. Penghargaan kepada seseorang bukanlah lantaran budi bahasanja, tetapi ditilik kepada gedongnja jang indah, pengkatnja jang tinggi, autonja jang bagus. Kurang harta, mengurangkan pula bagi harga kebenaran jang dikeluarkan.”

Abad XXI, orang-orang sudah mulai melupakan Hamka. Aku sangsi jika buku-buku Hamka itu menjadi bahan ajar di sekolah dan kampus. Aku pun ragu para ulama masih membaca buku-buku Hamka. Apakah di instansi-instansi Kementerian Agama mengoleksi buku-buku Hamka? Hamka memang manusia masa lalu. Sekarang, orang-orang memerlukan tokoh-tokoh baru: ustadz di televisi dan ulama di acara-acara besar dengan melibatkan ribuan orang di lapangan. Orang-orang masih membaca buku, mempelajari agama melalui tulisan para ulama?

Buku Peladjaran Agama Islam ada di ingatanku sebagai sajian literasi agama di Indonesia, merepresentasikan situasi zaman saat umat mempelajari agama dengan buku, majalah, koran. Buku dari masa lalu itu tentu terlupa saat dakwah di Indonesia mementingkan kosmetik, busana, iklan, penonton berseragam, dekorasi mewah… Aku memilih ingat Hamka. Begitu.