Tag
bali, Bandung Mawardi, jawa timur, paragon, pariwisata, piknik
Bandung Mawardi
Alkisah, aku pernah diejek oleh Fauzi: “Apakah kamu pernah masuk ke Paragon?” Aku jawab dengan santun: “Tak pernah”. Sekian hari usai ejekan, aku bergerak ke Paragon: 25 Desember 2013. Siang usai gerimis, aku tak memiliki “pedoman” untuk bisa masuk ke Paragon, berkeliaran mencari tempat tongkrongan. Sepeda motor diparkir di bawah, mata mencari petunjuk masuk ke mal. Ruwet! Aku harus berjalan sendirian. Grogi? Tempat tujuan tak ketemu, terpaksa menghadap satpam. Sampailah, aku masuk ke ruang bersih dan aneh. Bersalaman dengan orang-orang penting. Ada arsitek, dosen, pemikir kota, tukang gawe festival…. Buku menu diajukan. Aduh! Aku sulit memilih, menu makanan dan minuman berbahasa Inggris. Aku mengikut si tukang gawe festival: pesan secangkir air munthuk. Mahal!
Aku anggap kedatanganku ke Paragon (Solo) adalah piknik, bersaing dengan orang-orang berduit: mengartikan liburan dengan piknik ke Paris, Singapura, Cina, Bali… Aku juga piknik meski tak jauh: 30 menit perjalanan dari rumah ke Paragon. Modal piknik tentu ketakjuban. Lha, aku hampir kehilangan takjub saat ada di Paragon. Lho! Aku lihat orang-orang parlente bersliweran untuk belanja, orang-orang duduk dan ramai saat menikmati santapan. Piknik melihat orang ramai! Pulang, aku kaget saat di pos parkir. Ongkos parkir Rp 2.500. Aku cuma bersiap dengan uang seribu, ingat ongkos parkir di Gramedia.
Ingat piknik, ingat buku wagu berjudul Pedoman Tamasja: Djawa Timur dan Bali (Keng Po, Jakarta) susunan Ananda. Buku ini dianggap penting! Penjelasan si penulis: “Sudah lama telah dirasakan sebagai suatu kebutuhan oleh para pelantjong untuk mempunjai sebuah buku pedoman tamasja dari mana mereka dapat petundjuk-petundjuk mengenai tempat-tempat djadjan, rumah makan, penginapan dan tempat-tempat hiburan sehingga mereka dapat merentjanakan perpelantjongannja dan djuga tidak merasa menjesal karena tidak melihat atau menindjau barang-barang atau tempat-tempat jang tidak diketahui, bila mengadakan perpelantjongan disuatu daerah.”
Selama hidup, aku jarang piknik, bermula dari kemiskinan dan “kemalasan”. Oh! Hidup tanpa melancong tak bermakna? Aku membiarkan ungkapan itu menjadi milik orang-orang. Aku memang pernah ke Jogjakarta, Malang, Denpasar, Ubud, Makassar, Ternate, Jakarta, Madura…. tapi tak berniat menjadi pelancong. Aku bepergian berdalih literasi, enggan diajak berpiknik dan berfoto di tempat-tempat wisata. Wah! Aku tentu tak memiliki kenangan-kenangan foto saat berkunjung ke pelbagai kota dan desa. Aku bakal sulit diakui pernah datang ke tempat-tempat itu jika tak bisa pamer foto ke orang lain. Lho!
Buku Pedoman Tamasja: Djawa Timur dan Bali justru memberi imajinasi lawas mengenai gairah pemerintah dan swasta membesarkan ajaran: “Berpikniklah agar hidupmu bermakna.” Berpiknik ke Jawa Timur, orang bisa ke kebun binatang, makam wali, Tugu Pahlawan, pelabuhan, pantai, candi, gunung… Aku membaca keterangan apik mengenai tempat wisata di Pohsarang. Ananda mendeskripsikan bahwa di Pohsarang (Kediri) “terdapat sebuah geredja unik karena bangunannja jang bertjorak Madjapahit. Gerdeja itu didirikan 26 tahun jang lalu. Pelopor pendirinja adalah Pastor J. Wolters C.M. dan pelaksananja Ir Maclaine Pont, seorang insinjur jang terkenal sekali dengan penjelidikan-penjelidikannja tentang arsitektur kuna dan kerdajaan-keradjaan bangsa kita dimasa jang silam.” Aku masih merenung: “Apakah aku bisa piknik ke gereja di Pohsarang?”
Imajinasi beralih ke Bali. Aku pernah ke Bali, berperan sebagai esais. Oh! Hari demi hari, mendekam di hotel: meminjam komputer milik hotel untuk menulis puisi dan esai. Aku tak ikut rombongan pengarang berpiknik dan belanja. Ketakjubanku atas Bali berbeda dengan mata pelancong. Aku malah takjub saat bertemu dan bercakap dengan Oka Rusmini. Percakapan malam dengan pelbagai tema, memberi ikatan untuk mengenang Bali adalah “pengarang”. Bali tak cuma pantai, sawah, kafe…. Di Bali, aku merasa berpiknik kata dan imajinasi saat perjumpaan dengan Oka Rusmini.
Deskripsiku berbeda dengan Ananda saat menggoda pembaca agar melancong ke Bali: “Setiap tahun, ribuan turis dari dalam maupun luar negeri datang mengundjungi Bali dan pulang dengan kenang-kenangan jang indah. Berbagai-bagai nama telah diberikan kepada pulau ini oleh turis-turis asing: The Land of Paradise, The Gem of the Tropics, dan banjak nama-nama Indah lainnja. PM Nehru dari India ketika mengundjungi pulau Bali dalam tahun 1954 menjebutnja sebagai Morning of the World. Bagi orang-orang Indonesia, pulau ini terutama terkenal sebagai Pulau Dewata, The Island of Gods.”
Buku setebal 160 halaman, warisan dari masa silam. Buku ini pantas jadi koleksi dan bacaan jika ingin menggarap tema literasi dan pariwisata di Indonesia. Penerbitan buku representasi dari ikhtiar kata, gambar, foto untuk merangsang orang-orang piknik dan mengimajinasikan Indonesia. Aku memang membaca dengan buaian imajinasi meski kesulitan menjadi pelancong. Aku selalu berharap bisa bepergian ke pelbagai desa dan kota. Niatku bukan melancong tapi berdakwah literasi. Ha! Aku ingin berjumpa orang-orang: bercakap, membaca, menulis. Perjumpaan menjadi kata, tak usah menjadi foto-foto. Begitu.