Bandung Mawardi
Aku berkuliah sejak bocah. Hampir tiap hari aku kuliah saat Ramadhan. Kuliah di masjid. Aku bersama orang-orang tekun mengikuti kuliah subuh. Aku belum pernah mendapat penjelasan kebahasaan untuk penggunaan istilah kuliah. Siapa pemberi nama kuliah untuk peristiwa khotbah, sebelum matahari muncul? Aku cepat akrab dengan istilah kuliah. Kebingungan mulai muncul saat mendapat keterangan bahwa orang-orang kuliah di kampus. Di kampus, mereka juga ikut kuliah subuh? Oh, mereka tak berhadapan para mubaligh. Pemberi kuliah bernama dosen. Di desaku, orang kuliah ke kampus adalah kehormatan. Orang kuliah dianggap pintar. Aku dan orang-orang tetap saja rajin ikut kuliah subuh meski jarang dianggap pintar. Konon, kuliah subuh mendapat pahala, bukan nilai untuk menjadi sarjana. Oh!
Pada tahun 1966, terbit buku berjudul Kuliah Islam, kumpulan tulisan dari Mohd. Zain Djambek. Tulisan-tulisan tersebar disusun dan diselenggarakan oleh D.P. Sati Alimin. Buku diterbitkan oleh Tintamas, Jakarta. Tebal 118 halaman. Penerbit sudah menggunakan istilah kuliah, berariti kuliah subuh di masjid-masjid sudah terkenal sejak puluhan tahun silam. Apa itu kuliah? W.J.S. Poerwadarminta mengartikan kuliah: “sekolah tinggi atau menengah; peladjaran jang diberikan oleh mahaguru diperguruan tinggi.” Wah, mengurusi istilah kadang tak harus patuh dengan kamus. Kuliah di buku Zain Djambek tentu tak sama dengan pengertian dalam kamus.
Siapa Mohd. Zain Djambek? Beliau adalah “ahli agama bukan sadja karena pusaka turunan ajahnja almarhum Sjech Muhammad Djamil Djambek, tetapi djuga karena sedjak ketjilnja Muhammad Zain Djambek telah mendapat peluang mempeladjari ilmu agama Islam menurut sistim jang terbaru.” Beliau adalah tokoh terkenal, sejak lama. Aku harus sadar diri, terlambat mengenal Zain Djambek (5 Agustus 1908-27 Mei 1963). Keterangan penting: “Semendjak lebih kurang tahun 1929 Muhammad Zain Djambek telah dikenal sebagai pemuda penjiar Islam, sebagai muballigh jang digemari pembitjaraannja.” Aku jadi ingat saat masih SD, bercita-cita jadi muballigh. Aku sering mengikuti lomba-lomba pidato dan sering mendapat juara. Hore! Piala-piala masih disimpan di Masjid Al Ma’mur, Blulukan, Colomadu. Aku pun berkeinginan jadi muballigh kondang. Cita-cita itu tak berlanjut.
Buku diterbitkan setelah Zain Djambek meninggal. Aku sering ngoceh ke teman-teman saat pengajian atau tadarus, aku sengaja membeli, mempelajari, dan mengoleksi buku-buku lawas dengan niat sederhana: agar amalan si penulis tak terputus. Di masa lalu, ratusan buku telah ditulis dan diterbitkan. Sekian buku terlupakan, tak mendapat pembaca lagi. Aku memilih bertugas sebagai pembaca agar amalan literasi para penulis tak selesai. Aku mengistilahkan amal jariah tetap berlanjut dengan aku membaca dan mengabarkan ke orang-orang. Ah, penjelasanku tentu tak bermutu. Aku jadi merenung di alinea terakhir dalam pengantar oleh D.P. Sati Alimin: “Kepada Ilahi, Tuhan semesta alam. Penghimpun memandjatkan do’a semoga dengan tersiarnja kembali tulisan-tulisan ini, Zain masih meneruskan amal salehnja disisi Tuhan dan gandjaran senantiasa dilimpahkan Tuhan kepadanja dan kepada-Nja kita memohon petundjuk dan ampunan!” Aku membaca alinea ini saat matahari belum muncul. Pagi masih dingin tapi di rumah sebelah dangdut sudah menghalau keheningan.
Sejarah buku juga sejarah dakwah dan pergerakan kebangsaan di Indonesia. Dulu, Zain Djambek menulis buku berjudul Ilmu Ketuhanan Islam, diterbitkan oleh Boekendepot Doel dan Modern Bibliotheek, Sumatra Barat, 1940. Tebal 26 halaman. Buku dicetak 1000. Sekian buku dikirimkan ke Soekarno dan Mohammad Hatta saat menjalani hukuman pengasingan. Soekarno di Endeh. Hatta di Banda Neira. Hatta mengucapkan terima kasih atas pemberian buku. Eh, Hatta minta lagi.
Siapa Tuhan? Zain Djambek memberi penjelasan: “Semendjak manusia ditjiptakan mendjadi penduduk bumi, manusia telah duduk diatas paham jang mengakui bahwa sebenarnjalah ada Tuhan itu. Tapi ditjelah-tjelah itu didapati pula suatu golongan jang membantah dan mengatakan bahwa Tuhan itu hanjalah suatu perkataan jang mendjadi buah mulut manusia sadja jang sekali-kali tak ada wudjudnja. Ada pula suatu golongan lain jang mengakui djuga adanja Tuhan, tapi pahamnja tentang ketuhanan itu amat berdjauhan dengan hakekat pengundjukan rahasia alam dan ilmu ketuhanan.” Aku tak ingin melanjutkan berpikir berat tentang Tuhan. Aku selalu ingin beriman meski sering tak beres.
Di halaman 94, aku membaca artikel berjudul “Memperbaiki Djalannja Perguruan Islam di Indonesia”. Artikel pernah disiarkan pada tahun 1932. Zain Djambek mengingatkan: “Seorang bakal pegawai negeri, buruh, tani, tukang, dagang, dan sebagainja di Indonesia ini, tiada memperoleh kesempatan sama sekali untuk beladjar dan menerima penerangan tentang agama. Kesempatan demikian, hanja tersedia bagi orang jang menudjukan hidupnja, sampai atau tidak, ketingkatan ulama semata-mata. Achirnja orang-orang buta-agama itu semangkin besar djumlahnja dan umumnja terdiri dari golongan jang menempati kedudukan terkemuka dalam masjarakat, sementara jang mengerti dan beragama semangkin ketjil bilangannja, itupun terdiri dari golongan jang dianggap anggota pergaulan jang terbawah.” Mengapa orang miskin cenderung ingin mempelajari agama, meningkatkan iman dan takwa? Wah, aku berharap informasi dari Zain Djambek tak terlalu benar. Aku menduga orang-orang terkemuka pada masa lalu juga rajin belajar agama meski sedikit. Begitu.