Tag

, , , , , , ,

Bandung Mawardi

Majalah Horison edisi Januari 2015 memuat 3 cerpen siswa, cerpen bercap pemenang. Satra memang memerlukan lomba, berharap siswa bergembira dan sadar kompetisi. Siswa belajar sastra tak melulu untuk “melegakan” guru. Aku bermaksud memberi kehormatan bagi guru meski jarang bisa mengajar sastra dengan aduhai. Konon, sejak puluhan tahun, sastra diajarkan sebagai “pelengkap” atau “pemanis”. Sastra di sekolah tak terlalu penting, ada dan tiada bukan persoalan besar bagi negara dan bangsa. Ha!

Apakah pelajaran sastra pernah dianggap penting dan turut membentuk adab Indonesia? Aku menduga derajat pelajaran sastra pada masa 1950-an “terhormat”, memberi rangsangan bagi murid-murid bersastra. Dugaanku menggunakan penerbitan buku-buku lama. Aku ajukan buku berjudul Peladjaran Sastera Indonesia susunan Usman Effendi, terbitan Pustaka Rakjat, 1957. Buku sudah cetakan ke-5. Buku berukuran kecil. Tebal 80 halaman. Aku tiba-tiba merasa cemburu dengan kepustakaan dalam pengajaran sastra di masa lalu. Oh! Aku cemburu?

IMG_0006

Usman Effendi tampak enteng mendefinisikan Indonesia melalui sastra. Aku tentu tak usah menggugat, diterima saja dengan menganggukan kepala tanpa bertepuk tangan. Usman Effendi dalam bab dua membahas irama. Oh, irama adalah dalam sastra, tak cuma ada dalam lagu dangdut. Irama juga tak mutlak miliki “Raja Dangdut”. Irama boleh milik siapa saja. Usman Effendi menulis: “Oleh karena bangsa Indonesia itu hidup dikelilingi oleh alam jang penuh dengan irama, maka boleh dikatakan, bahwa bangsa Indonesia itu dalam segala hal mementingkan irama. Dalam bunji orang menumbuk padi kedengaran irama, waktu mengangkat sesuatu jang berat bersama-sama dinjanjikan lagu jang berirama, waktu berdajung dilagukan lagu jang berirama, untuk menidurkan anaknja ibu Indonesia biasanja mengajun-ajunkan anaknja dengan berirama dengan melagukan njanjian jang beralun-alun.” Aku tambahi informasi Usman Effendi. Di Indonesia, orang menangis juga berirama. Orang marah dan misuh-misuh memerlukan irama. Suara kentut juga kadang berirama. Walah!

Usman Effendi memang berlebihan untuk mengartikan Indonesia sebagai negeri irama. Konklusi Usman Effendi: “Begitulah besarnja pengaruh irama pada djiwa bangsa Indonesia, sehingga sampai-sampai waktu melihat sesuatu, tampak olehnja irama didalamnja. Djiwa bangsa Indonesia itu bergelombang-gelombang waktu melihat sesuatu jang bagus. Apabila jang bagus ini harus ditjeriterakannja, dalam tjara ia membentangkan perasaannja itu dengan sendirinja ada irama didalamnja.”

IMG_0010

Ah, aku tak perlu menggugat penjelasan Usman Effendi. Irama itu penting. Sastra berpijak dari irama untuk memunculkan keindahan. Wah, kalimat lawas, mengikuti kalimat-kalimat Usman Effendi. Buku ini memuat bab-bab dengan penjelasan singkat dan contoh-contoh. Bagaimana guru menggunakan buku untuk mengajar agar memikat murid-murid? Dugaanku guru tak mengajar dengan ringkas. Barangkali mereka sudah menggandrungi sastra. Mengajar pun tak terlalu tergantung pada buku bercap lengkap dan tebal. Buku kecil dan tipis malah merangsang untuk mengajar sastra berkepanjangan: mengajar dengan irama.

Apakah puisi? Aku sedang mengingat masa sekolah saat ulangan atau mengerjakan soal-soal ujian. Puisi adalah susunan kata indah. Jawaban ini sudah bisa diterima guru, mendapat nilai bagus. Usman Effendi mengartikan puisi: “Lukisan bahasa jang digubah dengan kata-kata jang bagus-bagus dan tepat jang dihiasi dengan irama dan sadjak dalam bentuk jang istimewa.” Wah, pengertian berirama. Dulu, aku menjawab tak sepanjang penjelasan Usman Effendi. Sekarang, aku juga sulit untuk menggunakan pengertian itu untuk berceramah tentang esai. Oh, aku jadi ingat telah selesai membaca dan merensi buku mengapresiasi puisi dari Sapardi Djoko Damono, berjudul Bilang Begini, Maksudnya Begitu, terbitan Gramedia Pustaka Utama, 2014. Buku bersampul gadis genit, tak puitis. Buku mungkin ditujukan ke remaja atau mahasiswa.

IMG_0015

Apakah prosa? Usman Effendi menjelaskan bahwa prosa berarti “lukisan bahasa jang digubah dalam bahasa berturut dengan memakai kata-kata jang bagus-bagus dan dilengkapi dengan irama.” Ah, aku ingin mengganti judul buku: Peladjaran Sastera Indonesia Berirama. Oh, judul bagus! Apakah Usman Effendi kecanduan irama? Segala hal mesti dijelaskan dengan irama. Apakah buku ini mempengaruhi orang-orang menamai anak menggunakan kata irama?

Apakah perbedaan puisi lama dan puisi baru? Aku masih ingat pembahasan puisi lama dan baru ada di buku pelajaran bahasa Indonesia saat SMA. Pembahasan itu dilanjutkan saat kuliah. Penjelasan sama saja. Usman Effendi justru membuat perbedaan secara dramatis: “Rasa keindahan dan kebagusan puisi lama meratai perasaan seluruh rakjat, sedangkan puisi baru hanja meliputi sebagian dari lapisan masjarakat jang telah tjerdas sadja.” Apakah aku boleh memberi sambungan penjelasan untuk masa sekarang? Puisi-puisi semakin sulit “meratai perasaan seluruh rakjat”. Wah, aku harus sampaikan ke Joko Widodo agar ada pemerataan pembangunan dan pemerataan puisi.

Buku ini telah mengajak diriku ke masa lalu. Aku cemburu tapi tak berirama. Aku berharap bisa mengoleksi buku-buku pelajaran sastra, dulu sampai sekarang. Tumpukan buku dengan komentar-komentar pendek bisa menjelaskan nasib pengajaran sastra di Indonesia. Begitu.