Bandung Mawardi
Aku pernah berjanji untuk menulis esai tentang Pak Kasur. Janji ini bermula dari kepentinganku mengetri dunia pendidikan dan imajinasi bocah. Pilihan menulis esai tentu mengandung tendensi agar bisa menjadi santapan pembaca. Aku belum sanggup memberi keterangan panjang mengenai sosok Pak Kasur. Penulisan esai sekadar rangsangan untuk lacakan jauh ke mozaik pemikiran pendidikan di Indonesia.
Esai berkaitan 100 tahun Pak Kasur (1912-2012) selesai aku garap. Aku sering mengisahkan esai itu ke teman-teman. Niatku menerangkan dan mengingatkan mereka agar masih berkenan menerima Pak Kasur sebagai. Sekian teman bergairah dengan pengisahanku. Sekian teman juga malas meladeni ocehanku tentang lagu-lagu bocah, pendidikan, dan biografi Pak Kasur. Aku merasa esaiku penting untuk mendapat pembaca. Aku pun memutuskan untuk mengirim ke majalah Basis (Jogjakarta).
Esai berjudul Pendidikan dan Adab dimuat di majalah Basis (Nomor 01-02, Tahun ke-62, 2013). Aku berharapan esai wagu itu dibaca oleh sekian orang dengan ajakan menghormati Pak Kasur dan menekuni tema-tema pendidikan di masa lalu dibandingkan masa sekarang. Dua majalah Basis sampai ke rumahku sebagai bukti kelegaanku menulis tentang Pak Kasur. Teman-teman di rumah aku persilakan membaca dan memberi komentar meski mereka tampak tak terangsang. Aduh!
Esaiku dimuat di halaman 52-54. Aku mengutip alinea awal: “Indonesia adalah negeri para pengisah. Kita bisa menelusuri jejak-jejak para pengisah dengan memberi penghormatan atas warisan dan titipan pengharapan. Pengisah Indonesia dengan suguhan lagu-lagu bocah dan gairah pendidikan adalah Soerjono alias Pak Kasur (1912-2012).” Aku melanjutkan keterangan itu dengan memunculkan judul-judul lagu gubahan Pak Kasur. Aku membaca ulang aliena itu saat senja: malu. Ah!
Aku menggunakan buku berjudul Pak Kasur: Pengabdian Pendidikan (Pustaka Azet, 1987) untuk referensi. Buku ini disusun oleh Sides Sudyarto DS, Pertiwi B. Hasan, Naning Pranoto. Aku sejak semula terpikat membaca dan mengoleksi buku ini untuk mengerti kesejarahan para pengisah di Indonesia. Buku setebal 250 halaman memuat tulisan-tulisan testimoni dari sekian orang: teman, murid, pengagum…. Aku membaca dengan keharuan dan penghormatan besar. Buku ini dokumentasi kecil tapi memberi ajakan menelusuri biografi Pak Kasur berlatar pendidikan dan kesenian.
Pertiwi B. Hasan menulis di halaman awal: “Hasrat yang telah lama terkandung di dada, akhirnya terwujud juga: Menyiapkan kado untuk ulang tahun yang ke-75 Pak Kasur, bapak saya, berupa buku yang sederhana ini.” Ibu Kasur memberi keterangan mengenai pengakuan sekian orang atas Pak Kasur: “Sungguh mengharukan! Mereka dengan tulus mengaku sebagai anak didik Pak Kasur. Padahal sebetulnya maksud kami bukanlah mendidik, melainkan sekadar berkumpul untuk bergembira bersama dalam arti positif.”
Buku ini memberi optimisme di dunia pendidikan Indonesia. Aku menganggap polemik dan keluhan mengenai pendidikan selama puluhan tahun tak bakal menemui terang jika mengabaikan biografi pengabdian Pak Kasur. Aku jarang mendengar orang melafalkan nama Pak Kasur. Orang-orang juga tidak tahun nama pencipta lagu-lagu bocah populer: Kebunku, Dua Mata Saya, Naik Delman, Bangun Tidur. Lagu-lagu itu memang terus dilantunkan tapi sering melupakan nama si penggubah: Pak Kasur.
Dunia pendidikan memerlukan lagu. Aku menerima dalil ini merujuk ke peran Pak Kasur. Lagu-lagu bocah lawas perlahan terlupa oleh lagu-lagu cinta picisan. Aku sulit mengerti situasi mutakhir melahirkan bocah-bocah dengan lagu-lagu picisan. Mereka tak lagi melantunkan lagu-lagu Pak Kasur, Ibu Sud, AT Mahmud. Lagu-lagu bergelimang imajinasi bocah diganti lagu-lagu bertebaran kata-kata tak bermutu dan kisah-kisah cinta. Keparat! Anak-anak telah digoda puja picisan.
Pak Kasur mengajarkan belajar dan mengajak bermain. Hidup tak mesti memberat oleh agenda-agenda rasionalitas. Hidup memerlukan imajinasi. Dunia bocah tak melulu untuk melahap ilmu demi nilai. Imajinasi justru memberi rangsangan bagi anak mengerti diri, dunia, Tuhan. Pak Kasur dalam lagu-lagu bocah mengejawantahkan kehendak pendidikan tanpa represi atas nama ilmu, kekuasaan, modal.
Kutipan wagu dari esaiku di majalah Basis: “Penghormatan atas sosok Pak Kasur mungkin bisa mengembalikan ingatan kita pada arus sejarah pendidikan bocah. Kita juga bisa meralat model pendidikan a la taman kanak-kanak. Kurikulum untuk bocah mulai terbebani oleh pamrih kepintaran dan kecerdasan.” Aku seolah mengerti dunia pendidikan bocah. Kalimat-kalimat ini sekadar kesangsianku membaca dunia pendidikan mutakhir. Aku sering marah dan pesimis. Aduh! Aku merasa pendidikan di Indonesia mirip novel di kegelapan malam.
Pak Kasur adalah pengisah Indonesia. Kita justru melupakan tanpa bersalah. Aku masih berharapan bahwa esaiku di majalah Basis bisa mengajak pembaca ingat dan merawat sejarah pendidikan di Indonesia. Aku ingin ada terang meski hari telah senja. Begitu.