Bandung Mawardi
Niat dan kemauan pergi ke toko buku atau pasar buku tak harus berbekal daftar. Aku sering berharapan berjumpa buku-buku tanpa “rencana”. Buku-buku itu mengejutkan dan “memanggil”. Aku pun tak menentukan tema-tema untuk membeli buku. Mata dan tangan telah “bertugas” memenuhi panggilan buku. Pertimbangan jangan melewati 10 menit. Buku terlalu merindui diriku. Aku mesti lekas membeli dan membawa pulang ke Bilik Literasi.
Siang hari. Aku pergi ke pasar buku. Langit mendung. Hujan mau turun. Tubuh bergerak mendatangi kios-kios. Aku berhenti saat mata melihat ada buku tebal, berpenampilan sederhana. Di halaman sampul, ada tulisan: Monografie Kabupaten Wonosobo, Daerah Kedu, Propinsi Jawa Tengah susunan Soemartono Poerwokoesoemo, terbitan Djawatan Pertanian Rakjat Pusat, Djakarta, 1960. Aku tergoda. Doa sejenak, buku itu kubeli dengan sangkaan menemukan nostalgia-nostalgia tak biasa tentang dunia pertanian di Indonesia.
Soemartono Poerwokoesoemo memberi keterangan kecil tujuan menggarap monografi: “… Wonosobo sendiri mempunjai struktur ekonomi jang sifatnja agraris, maka sudah barang tentu objek pertanian dikupas lebih mendalam… Wonosobo masih punja keistimewaan dalam soal keindahan dan kekajaan alam jang berlimpah-limpah jang mau tidak mau dapat menarik banjak pelantjong-pelantjong dari luar daerah dan luar negeri dan disertai hawa jang sedjuk dapat menambah kemauan bekerdja, menambah inspirasi baru dan menenteramkan hati.” Aku pernah singgah ke Wonosobo. Wonosobo justru sering aku simak dari berita, artikel, buku, cerita tetangga, dan acara di televisi.
Monografi dimulai dengan “kata pengantar”, foto, dan puisi. Ah, puisi menuntun pembaca untuk membuka halaman-halaman berisi keterangan: kata, foto, angka, gambar. Puisi ditulis oleh perempuan saat mengungsi akibat Clash II di Wonosobo. Aku berkepentingan mengutip puisi agar hidupku tak selalu mengutip puisi Chairil Anwar, Rendra, Subagio S, Afrizal Malna, Joko Pinurbo… Puisi berjudul Kukenang Wonosobo Permai dari pujangga tanpa disebutkan nama bisa mengantarku singgah ke Wonosobo.
Laksana dalam impian
Djika kukenang Wonosobo permai
Hawa sedjuk ditiup baju
Lemah berbisik berhembus selalu
Padi kuning keemasan
Dilereng Gunung Sindoro/Sumbing megah
Berselimut awan tebal.
Aku enggan mengomentasi puisi ini menggunakan mata kritik sastra. Aku anggap puisi “pengantar” pengelanaan imajinatif ke Wonosobo.
Aku memilih memberi perhatian untuk halaman-halaman mengenai hutan. Aku telah menulis esai-esai bertema hutan. Aku merasa ada bisikan gaib agar selalu menulis hutan. Weh! Aku tak berumah di hutan tapi merasa rindu selalu dengan hutan. Aku masuk hutan di puisi, cerpen, novel, film… Di desaku, hutan tak ada. Aku menulis hutan agar tak melupakan hutan. Indonesia memiliki hutan-hutan tapi menanggung hutang-hutang. Eh, kalimat tak beres.
LaporanSoemartono Poerwokoesoemo: “Luas hutan di Kabupaten Wonosobo ada 16649 ha, terdiri atas 105226,40 ha hutan padat, 2641 ha hutan djarang dan 3582,06 ha hutan gundul…. Hutan ini sangat penting artinja bagi pertanian…” Bagiku, hutan sering bermisteri. Hutan itu referensi kehidupan di negeri tropis. Selama puluhan tahun, referensi itu ditinggalkan dan dirusak demi politik dan uang. Ah, aku berharap kalimat ini jauh dari klise.
Ingat Wonosobo, ingat Dieng. Penjelasan Dieng ada di halaman 34: “Ketjuali hawa jang sedjuk dingin, kemurnian alam dan kesegaran pemandangan jang dimiliki oleh dataran tinggi itu, peninggalan-peninggalan zaman-zaman purba sebagai tjandi-tjandi, artja-artja dan sebagainja banjak pula terdapat di Dieng. Lebih dari tudjuh buah danau besar-ketjil, jang terserak disana-sini, sungguh-sungguh merupakan harmoni jang sebaik-baiknja dari pada hiasan alam didaerah tersebut.” Oh, Dieng, kapan aku bisa mendatangimu. Aku berharap tak berpredikat pelancong. Di televisi, koran, majalah, Dieng sering diberitakan eksotis dan ajaib.
Wonosobo pun mengingatkan tembakau. Dulu, saat aku dolan ke rumah teman, di sepanjang perjalanan aku melihat jajaran kebun tembakau. Aku bergairah melihat saat aku masih menekuni kerja merokok. Oh! Laporan Soemartono Poerwokoesoemo: “Adapun desa-desa jang terkenal dengan tembakaunja ialah tembakau asal dari desa Sontonajan, Retjo, Setiang, Surenggede, Kreo, Tambi, Larangan, Kalidesel, Lamuk, Kwadungan….” Desa tembakau adalah desa pengisah Indonesia sebagai negeri dilematis jika berurusan rokok.
Monografi mungkin tak terlalu penting bagiku. Tebal dan informatif. Aku menanti ada orang menginginkan monografi Wonosobo dengan kemauan mengulas Wonosobo di masa lalu. Monografi tentu sumber penting. Apakah di perpustakaan Wonosobo ada koleksi monografi, dari masa ke masa? Aku membaca tanpa ambisi bisa menghitung angka-angka dan membuat penjelasan ringkas. Angka-angka membuatku bingung. Aku memilih melihat foto-foto ketimbang angka-angka. Wonosobo tentu juga asa dari ribuan cerita. Ah, aku menanti kehadiran sang pencerita. Begitu.