Bandung Mawardi
Aku belum tahu sejarah orang-orang Indonesia mengenal George Orwell. Pengutipan tentang pemikiran-pemikiran George Orwell tentu sudah berlangsung puluhan tahun silam meski sulit melacak nama pengutip atau penerjemah. George Orwell akrab bagi kalangan sastra dan intelektual di Indonesia, dikutip dalam obrolan dan tulisan-tulisan. Titik permulaan berkenaan waktu dan pengutip awal belum bisa ditemukan. Novel-novel George Orwell dalam terjemahan bahasa Indonesia juga perlu dilacak agar ada penjelasan tentang makna pengarang asal Inggris itu bagi Indonesia.
Aku mengingat George Orwell saat belanja buku di Solo, 22 September 2013. Novel itu aku dapati saat tubuhku mengalami sekian acara. 20 September 2013, 8 malam di TBJT, aku dan teman-teman mengobrolkan tentang sejarah dan peran pembaca novel. 21-22 September 2013, pagi sampai malam di Bilik Literasi ada Rapat Umum Marga T. Hari-hari dijalani bersama novel. Oh!
Minggu bersukacita. Esaiku untuk mengenang Soebagijo I.N. tampil di Jawa Pos. Esaiku berjudul Puisi dan Lukisan hadir di Bali Post. Tulisan teman-teman juga tersaji untuk pembaca. Esai tentang buku dari Setyaningsih tampil di Jawa Pos dan Koran Tempo. Resensi buku Mo Yan oleh Budiawan tampil di Solopos. Sukacita digenapi dengan tatapan mata mengarah ke buku bersampul merah: Tahun 1984 (W. Van Hoeve, 1953) garapan George Orwell. Aku menghafal sampul dan mengerti isi buku. Aku telah memiliki buku itu sejak lama. Eh, aku mendapatkan lagi. Hore!
Novel Tahun 1984 diterjemahkan oleh Barus Siregar. Novel setebal 366 halaman itu tak memuat pengantar atau penjelasan dari si penerjemah. Aku menduga para pembaca novel itu telah mengenal atau memiliki pemahaman tentang George Orwell. Orang-orang di masa 1950-an tentu cerdas ketimbang masa sekarang. Novel George Orwell ada di masa Orde Lama, bacaan bagi publiks sastra dan intelektual. Ampuh! Aku perlu mencari informasi reaksi Soekarno atas kehadiran terjemahan novel George Orwell ke bahasa Indonesia. Aku pun mesti mengumpukan tulisan-tulisan kaum inteletkual dan politikus di masa 1950-an, mencari bukti pengutipan pemikiran-pemikiran George Orwell.
Di Horison, nomor 3, 1966, ada tulisan berjudul Tjatatan untuk Karja Orwell: 1984 garapan Erich Fromm. Tulisan ini diterjemahkan oleh Soe Hok Djin atau Arif Budiman. Aku menduga ada sekian penulis telah mengutip George Orwell sebelum Arif Budiman menerjemahkan tulisan tentang George Orwell di majalah sastra. Redaksi Horison memberi pengantar kecil sebelum pembaca menikmati ulasan Erich Fromm: “George Orwell adalah nama samaran dari seorang pengarang Inggeris jang bernama Eric Blair. Dia dilahirkan pada tahun 1903 dan meninggal pada tahun 1950. Karjanja 1984 ditulis pada tahun 1948 jang segera mendjadi sangat terkenal dan diterdjemahkan kedalam berbagai bahasa antara lain bahasa Indonesia (Tahun 1984 terdjemahan Barus Siregar, penerbit van Hoeve, bandung, 1953). Karjanja jang lain, jang djuga sangat terkenal ialah Animal Farm, ditulis pada tahun 1946 dan baru sadja selesai dimuat pada harian Kompas sebagai tjerita bersambung, dengan djudul Perkampungan Binatang.”
Informasi ini mengandung kejutan bagiku, pembaca Orwell di ujung abad XX. Aku mengenal George Orwell dari novel Binatangisme, terjemahan Mahbub Djunaedi, terbitan Iqra, Bandung. Aku membaca novel itu di perpustakaan SMAN 2 Sukoharjo, 1998. Buku berukuran kecil, bersampul putih dengan gambar kepala binatang. Aku membaca sebagai lelaki lugu, kesepian di sekolah dan rumah tapi berlagak mengerti politik di Indonesia usai keruntuhan rezim Orde Baru.
Terjemahan Tahun 1984 ada di Indonesia tak berselang lama dengan edisi bahasa Inggris. Lima tahun usai novel itu beredar di dunia, Barus Siregar sanggup menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Aku mengimajinasikan jumlah pembaca novel itu saat Indonesia ada di masa pemerintahan Soekarno. Aku menduga novel Tahun 1984 berpengaruh bagi diskursus sastra dan politik di Indonesia. Pengaruh george Orwell berlanjut ke penerjemahan Animal Farm, dimuat di Kompas. Hebat! Aku merasa lega telah membaca dua novel itu meski terpaut jauh dari masa 1950-an dan 1960-an.
Novel Tahun 1984 tampil memukau dan menggoda. Pembaca bakal menemukan gambar-gambar naif, menguatkan cerita. Aku belum tahu si pembuat gambar. Di buku, tak ada keterangan. Indonesia telah berubah bersama kehadiran novel-novel George Orwell. Lho! Aku memahami bahwa novel, puisi, cerpen, drama memang berpengaruh dalam sejarah pemikiran Indonesia. Aku menolak anggapan bahwa jagat pemikiran cuma bergerak oleh kehadiran buku-buku politik, ekonomi, hukum, antropologi, … Novel-novel agung dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia pasti berpengaruh. Pasti!
Aku justru terpancing untuk mengumpulkan novel-novel terjemahan, menempatkan dalam konteks pemikiran di Indonesia. Pengumpulan informasi mengenai si penerjemah, penerbit, tahun, pembaca…. bisa menjelaskan efek sastra dunia bagi Indonesia. Novel-novel George Orwell tentu ada dalam daftar atas. Aku masih sering menjumpai pengutipan George Orwell dalam artikel-artikel di Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, … Kaum intelektual dan pengarang di abad XXI belum kehilangan perhatian untuk membaca novel-novel garapan George Orwell. Aku pun masih membaca meski selalu dalam terjemahan bahasa Indonesia. Begitu.