Bandung Mawardi
Di negeri jauh bernama Korea Selatan, negeri dengan artis-artis cantik, berlangsung Asian Games XVII 2014. Ribuan atlet berebut medali: emas, perak, perunggu. Atlet-atlet gagal tetap diperbolehkan mendapat medali gembreng. Asian Games adalah peristiwa olahraga. Pasti! Di acara pembukaan, artis-artis menghibur delegasi-delegasi dari pelbagai negeri. Olahraga digenapi hiburan musik. Ah, aku jadi ingat kegandrungan orang-orang Indonesia untuk melihat konser-konser musik dengan artis asal Korea Selatan. Di televisi, sinetron-sinetron bercap Korea Selatan menjadi tontonan idaman. Di toko buku, aku mblenger melihat novel-novel asal Korea Selatan. Di Indonesia, puja “made in” membuat Korea Selatan adalah keajaiban. Wah! Aku sengaja dan terpaksa menulis “made in”. Ungkapan itu jadi obrolan rumit di Bilik Literasi, 14 September 2014.
Ingat Asia Games, ingat artis gemes. Lho! Aku bermaksud mengingat peristiwa Asian Games di Indonesia, 1962. Aku memiliki buku berjudul Asian Games IV: Djakarta 24 Agustus-4 September 1962 (P.T. Kinta, 1962) susunan Tan Liang Tie dan Ang Hong To. Buku berketebalan 182 halaman, diharapkan menjadi “buku pegangan untuk penonton dan untuk penggemar olahraga”. Buku dipersembahkan bagi: “Kau, duta-duta olahraga jang berdjoang menegakkan kehormatan, kebesaran 96.000.000 rakjat Indonesia diforum Asian Games IV.” Olahraga adalah kerhomatan bangsa. Sangar!
Di pelbagai negeri, acara-acara olahraga sering heboh. Mengapa? Aku tak bisa menjawab. Aku justru ingat olahraga dalam arus sejarah Asia, usai Perang Dunia II. Di buku, ada keterangan: “… berabad-abad lamanja sampai dengan 1945, bumi Asia hanjalah mendjadi bumi berkuasanja orang-orang Barat. Tidak sedikit djumlah penduduk negara-negara Asia jang terdjadjah, atau menderita dibawah penindasan kolonial dalam segala bentuknja. Dunia Timur seolah-olah tinggal mendjadi sumber Barat mengumpulkan harta kekajaan. Dalam keadaan begitu, djuga olahragawan-olahragawan Asia tidak banjak mendapat kans untuk mengembangkan bakatnja, apalagi mentjapai standar prestasi dunia….” Olahraga bagian dari sejarah kolonialisme dan kehendak memuliakan bangsa. Aku jarang menulis esai-esai olahraga. Apakah dipengaruhi ketiadaan ahli sejarah olahraga di Indonesia?
Dulu, Soekarno berkepentingan dengan olahraga. Di lembaran buku-buku sejarah, acara olahraga digunakan oleh Soekarno untuk menjelaskan martabat Asia-Afrika di mata dunia. Ideologisasi olahraga berlangsung saat situasi dunia sedang tegang. Olahraga tak juara dan medali. Di panggung politik dunia, olahraga adalah pertaruhan kehormatan. Oh, aku jadi ingat makna olahraga di Indonesia. kebermaknaan olahraga disahkan dengan mata pelajaran dan lomba-lomba olahraga untuk peringatan hari-hari besar nasional.
Soekarno pernah berkata: “Djangan saudara berolahraga hanja, saja ulangi, untuk nama pribadi. Hanja unuk pribadi aku djuara tennis, aku djuara bulutangkis, aku djuara sepakbola, aku djuara renang, aku djuara estafet, aku djuara marathon. Baik, pribadi djuara, tetapi terutama sekali aku adalah anggauta dari bangsa Indonesia, dan ingin bangsa Indonesia-lah djuara olahraga!” soekarno ambisius mengurusi olahraga. Pelbagai kebijakan olahraga menghasilkan acara-acara nasional dan internasional dan pembangunan stadion. Soekarno pun juara berpidato tentang olahraga! Oh!
Sepakbola adalah cara mendapat kehormatan. Di Indonesia, negeri berpenduduk ratusan juta, sepakbola adalah olahraga menggairahkan meski jarang berprestasi. Indonesia masih senang jika dijuluki negeri penonton sepakbola di Liga Inggris, Liga Itali, Liga Spanyo….Liga-liga besar dan pertandingan sepakbola taraf internasional tanpa Indonesia tentu tak meriah. Maksudku Indonesia berkontribusi dalam jumlah penonton saat pertandingan-pertandingan disiarkan di televisi. Jutaan penonton di Indonesia tentu menghasilkan laba besar dalam industri sepakbola. Eh, sepakbola adalah olahraga dan industri.
Di halaman 114, ada memori dan harapan: “Di Asian Games Tokyo, Indonesia mendjadi pemenang medali perunggu untuk sepakbola. Inti dari kesebelasan Indonesia ketika itu adalah 7 pemain jang sudah termasuk senior ditambah 4 pemain muda. Dalam mulanja, regu ini belum djuga berhasil mengudjudkan keampuhannja. Disemifinal lawan Taiwan, pemain-pemain kita selama 90 menit pertandingan 3 kali membuat kans berbanding satu kesalahan jang menguntungkan lawan. Tetapi dari ketiga kans tersebut, tak suatupun jang dapat dipergunakan oleh pemain-pemain kita, karena kekuarangan penjelesaian jang tadjam.” Aku tak terlalu mengerti sepakbola. Informasi di buku cukup memberi ingatan tentang rintisan berprestasi sudah dimulai sejak puluhan tahun silam.
Aku perlu menginformasikan bahwa di halaman-halaman belakang berisi iklan-iklan. Ada iklan mesin diesel berisi keterangan: “Asian Games terang benderang karena mesin-mesin diesel dan tenaga uap dari M.A.N. – Maschinenfabrik, Augsburg-Nurnburg A.G.” Di sampul belakang ada iklan obat Panagrip. Obat tentu diperlukan para atlet dan penonton Asian Games. Demam, flu, sakit kepala bisa disembuhkan dengan Panagrip. Obat turut menentukan kesuksesan Asian Games. Begitu.