Tag
bakri siregar, Bandung Mawardi, marco kartodikromo, rustam effendi, sastra indonesia, sejarah sastra, semaun
Bandung Mawardi
Murid-murid mengikuti ujian nasional. Mereka harus belajar, berdoa, sungkem orangtua, menangis…. Pembiasaan ritual-ritual sekejap untuk ujian mengartikan ada “takut”, “harapan”, “ilusi”. Situasi tak keruan ini semakin “melukai” saat ada keputusan penundaan ujian untuk SMA di 11 provinsi, keterlambatan pengiriman soal, ketipisan lembaran jawaban…. Lho! Aku cuma mengalihkan berita dari koran dan majalah.
Silakan menteri rajin memberi penjelasan-penjelasan meski klise dan apologis. Aku tidak sedang ingin mengurusi menteri. Ujian nasional justru jadi masalah bagiku jika berkaitan dengan soal-soal di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Apakah di lembar soal ada urusan sastra? Apakah murid diminta menjawab tentang nama pengarang, angkatan sastra, sejarah sastra, judul novel? Aku belum bisa memastikan kehadiran soal-soal sastra di ujian nasional.
Aku mengingat masa lalu. Buku pelajaran Bahasa Indonesia memuat uraian sejarah sastra di Indonesia: pendek dan keliru. Konklusi ini aku peroleh setelah membaca sekian buku (sejarah) sastra dari Ajip Rosidi, A. Teeuw, H.B. Jassin, Bakri Siregar, Zuber Usman, Sapardi Djoko Damono, Umar Junus…. Nama dan usulan Nugroho Notosusanto memang ada di materi pelajaran tapi aku sering enggan menerima. Aku cuma membaca cerpen-cerpen Nugroho Notosusanto tanpa keinginan “mengikuti” atau “bersepakat” soal urusan sejarah sastra di Indonesia. Oh! Aku malah ingin berurusan dengan Bakri Siregar.
Bakri Siregar adalah Ketua Akademi Sastera dan Bahasa “Multatuli” Jakarta dan guru besar Sastra Indonesia Modern di Universitas Peking (1959-1963). Buku berjudul Sedjarah Sastera Indonesia Modern (Akademi Sastera dan Bahasa “Multatuli”, 1964) disajikan ke publik sebagai bacaan tandingan atas anutan sejarah “resmi” dari kalangan pengarang dan pengajar sastra. Buku ini terbit saat Indonesia memanas oleh adu ideologi. Sengketa juga terjadi di jagat sastra. Kubu-kubu sastra saling bersekutu atau berseteru. Lekra turut bersuara: menawarkan paham “revolusioner” dalam menggerakkan sastra modern di Indonesia. Referensi-referensi paham sastra “revolusioner” adalah Tiongkok, Rusia, Indonesia….
Profesor Bakri Siregar mengungkapkan: “Sastera Indonesia modern bermula dengan kesadaran nasional… dia dimulai dengan tradisi repolusioner jang dilaksanakan oleh Mas Marco Kartodikromo.” Balai Pustaka dan Pujangga Baru belum bisa jadi pembuktian paling “sahih” untuk sejarah sastra modern. Bakri Siregar menghendaki titik permulaan dan tokoh berbeda dengan penjelasan beraroma “kolonial”. Basis sejarah mesti revolusioner.
Sastra itu dipengaruhi revolusi. Keterangan-keterangan Bakri Siregar sejak mula mengandung sejenis seruan lantang: “Repolusi Russia 1905, kemenangan Djepang atas Tsar Russia, Repolusi Tiongkok 1911 dan kemudian Repolusi Oktober 1917 terutama mempunjai pengaruh jang penting dalam kebangunan bangsa-bangsa Asia, dan memberikan rangsang penjadaran kepada kaum terpeladjar Indonesia dan gerakan-gerakan nasionalnja. Pengaruh repolusioner mula-mula sudah terlihat pada tokoh Marco Kartodikromo, meskipun kaum kolonialis Belanda mengadakan rintangan dan hambatan jang rapat sekali terhadap lektur repolusioner.” Penjelasan heroik! Aku kadang berpikiran bahwa uraian berjuluk propaganda bisa abai atas “kebenaran” dan berpihak ke pemahaman-pemahaman konfrontatif. Aku membaca buku ini dengan “penerimaan” dan “sanggahan”. Buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern memang berperan sebagai tandingan tapi tak mesti mengandung kebenaran seratus persen ketimbang sejarah “resmi” di buku pelajaran dan perkuliahan di masa Orde Baru.
Buku tak cuma bantahan. Buku bisa mengandung “permusuhan”. Bakri Siregar lugas mengartikan Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) adalah kubu revolusioner. Mereka menjalankan misi sastra revolusioner. Misi ini memiliki sejarah revolusioner. Segala penjelasan mesti mendapat klaim revolusioner. Ampuh! Penjelasan gamblang tentang Lekra: “Garis ‘seni untuk rakjat’, asas kebudajaan rakjat sebagai asas setjara politik pada pokoknja telah mentjapai kemenangan jang pasti. Dengan penghimpunan semua tenaga repolusioner telah tergalang satu front kebudajaan anti-imperialis dan anti-feodal berlandaskan Manifesto Politik Republik Indonesia…. “
Aku cuma mengimajinasikan reaksi para pembaca buku Sedjarah Sastera Indonesia Modern di tahun 1964 dan usai malapetaka 1965. Barangkali resepsi pembaca tergantung situasi politik. Buku itu telah jadi bacaan para pengarang revolusioner tapi lekas menghilang oleh kebijakan rezim Orde Baru. Buku-buku bercap “revolusioner” dimusnahkan dan diharamkan. Penjelasan-penjelasan Bakri Siregar seolah untuk pembaca di tahun 1964 dan 1965 memberi impresi revolusi. Efek itu berubah saat urain-uraian di buku berseberangan dengan kebijakan politik Orde Baru. Sastra turut dipengaruhi. Pengetahuan sejarah sastra tak memuat penjelasan-penjelasan Bakri Siregar. Aku mafhum jika Bakri Siregar tak muncul di buku pelajaran. Nama ini masih asing sampai sekarang saat aku mengobrol dengan para pengarang (muda). Mereka tak tahu. Oh!
Bakri Siregar sengaja mengajukan nama Marco Kartodikromo, Semaun, Rustam Effendi sebagai pengarang berhaluan revolusioner. Mereka adalah “pemula” dalam pertumbuhan sastra dengan ideologi melawan kolonialisme, imperialisme, feodalisme. Sastra jadi alat pembelaan rakyat. Sastra itu melawan. Aku sudah membaca dan mengoleksi buku-buku mereka. Pembacaanku tak seheboh Bakri Siregar. Aku menduga bahwa usulan dan penjelasan Bakri Siregar berkaitan misi Lekra. Aku cuma bisa menerima pesan keras: “Selisik sejarah mesti dilakukan tanpa menghilangkan buku-buku dan nama-nama dari Lekra atau kaum revolusioner dari abad XX! Aku pun ingin terus mempelajari sejarah sastra dengan “membebaskan diri” dari indoktorinasi di buku pelajaran saat bersekolah. Begitu.