Tag

, , , , ,

Bandung Mawardi

Aku berdoa tanpa kata di depan dua buku tebal. Aku memeluk dua buku dengan mata terpejam. Matahari terus memancar: menembus jendela dan menerpa tumpukan buku di kamar. Tubuh gemetar dan lelah. Aku merasa sejarah masuk kamar. Bau kolonialisme dan nafas Jawa di masa silam telah memenuhi kamar. Suara sarjana-sarjana kolonial turut mendekam di kamar. Takjub!
Aku ingin melafalkan doa lirih tapi sulit. Mulut tak mengeluarkan kata. Aku terlalu sulit mengucap kata. Dua buku itu telah menjadi rumah ribuan kata seabad silam. Aku sungkan untuk bersaing “mengasuh” kata.
Dua buku tebal itu berjudul Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek (1901) susunan J.F.C. Gericke dan T. Roorda. Buku tebal dan berat. Aku mendapatkan dua buku ampuh dan “sakral itu” sekian jam lalu. Aku tak pernah meramalkan menjumpai buku “pengubah” sejarah Jawa. Kamus dua jilid itu menentukan konstruksi Jawa. Masa lalu dan masa depan Jawa merujuk ke kamus. Kolonialisme melenggan bersama kehadiran kamus. Pikat Jawa dan narasi adab pun merujuk ke kamus.
Aku lekas mencari keterangan-keterangan atas pemenuhan “panggilan” buku saat pagi hari. P. Swantoro melalui Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (Kepustakaan Populer Gramedia, 2002) mencantumkan pengakuan: “Saya sendiri baru 28 Agustus 1990 mendapatkan kedua jilid kamus Gericke-Roorda cetakan 1901, setelah berusaha selama beberapa tahun. Kedua jilid berukuran sama 17,5 x 27 cm. Kamus ini sekarang sudah dapat dikategorikan sebagai “barang antik”, tetapi masih tetap berguna sebagai bahan studi.” Aku sejak lama membaca buku P. Swantoro tapi tak pernah mengangankan kelak bakal memeluk dan mencium kamus Gericke-Roorda. Keterangan P. Swantoro seolah mengawali jalan memenuhi “panggilan” buku. Aku juga ingin membuat pengakuan: “Aku melihat dan memegang buku itu pada Senin, 17 Desember 2012, 10.13 WIB.”
Penjelasan lanjut P. Swantoro: “Kamus ini, dua jilid, menggunakan dua jenis huruf atau aksara: aksara Jawa untuk menuliskan kata-kata Jawa, dan aksara Latin untuk kata-kata Belanda. Penyusunan kamus itu tidak menggunakan sistem alfabet, melainkan hanacaraka.” Aku semula sekadar menikmati deskripsi P. Swantoro. Penjelasan itu menjelma. Aku mengalami peristiwa perjumpaan dengan buku fantastis!
Aku memang tak bisa membaca kamus susunan Gericke-Roorda. Peristiwa melihat-memegang-memeluk sudak mendebarkan. Adegan berdoa di depan kamus pun mengantar ke takziah sejarah. Aku terlalu terlena.
Aku harus melacak sekian keterangan untuk melegakan keterpanaan. Johann Friderich Carl Gericke (1799-1857) adalah pakar linguistik dan penerjemah Alkitab. Aku mengutip informasi-informasi tentang J.F.C Gericke dari buku Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara (Lembaga Alkitab Indonesia, 2006) garapan J.L. Swellengrebel. J.F.C Gercike tiba di Batavia:6 Mei 1827. Perjalanan dilanjutkan ke Semarang dan Solo.
J.F.C berhasrat menguasai bahasa Jawa dan betah melakoni hidup bersama orang-orang Jawa. Pengakuan J.F.C Gericke di sepucuk surat bertanggal 16 Juli 1828: “Sejak mulai bisa mengemukakan pikiran saya dalam bahasa Jawa, saya mulai dihormati oleh kalangan pangeran dan orang-orang terpandang di Solo. Mereka merasa terhormat mendengar bahasa mereka digunakan oleh seorang Eropa. Saya sering diundang ke pertemuan-pertemua mereka. Saya merasa lebih betah berada dalam perkumpulan ini ketimbang dalam pergaulan dengan orang-orang Eropa.” Pengakuan di surat sering mengandung “kebenaran”. Pengakuan J.F.C Gericke mengingatkan persentuhan sarjana dan pengkhotbah dengan Jawa melalui gairah bahasa.
J.F.C. Gericke ambisius menggarpan kamus bahasa dan penerjemahan Alkitab ke bahasa Jawa. Ikhtiar ini dilakoni selama puluhan tahun. Kerja melelahkan itu bergelimang perkara. Sekian hal menjadi kontroversial berlatar misi agama, politik, kultural, literasi. Ambisi lambat dijelmakan. J.F.C meninggal dengan kekecewaan dan ragu. Rintisan atas garapan kamus dan penerjemahan Perjanjian Baru “dilanjutkan” dan “disempurnakan” oleh T. Roorda.
Informasi tentang Taco Roorda aku dapatkan dalam buku Javaansche Wetten: Serat Angger-Anggeran Jawi (Kepel Press, 2002). T. Roorda (1801-1874) adalah sarjana linguistik dan guru besar di Amsterdam.  T. Roorda juga moncer sebagai guru besar ilmu bahasa Jawa di Leiden. Peran penting T. Roorda adalah merintis pelajaran bahasa Jawa di Belanda dan menulis buku-buku mengenai bahasa Jawa. T. Roorda turut “membentuk” Jawa melalui ruang akademik dan agenda literasi. Aku memberi pujian meski memiliki curiga atas peran ahli bahasa dalam kolonialisme.
Aku merasa sejarah masih tersimpan dalam kamus tebal garapan Gericke dan Roorda. Jilid I setebal 905 halaman. Jilid II setebal 872 halaman. Sejarah memendar dan menghisapku. Aku memang tak bisa membaca kamus dari seabad lampau. Aku tak menguasai bahasa Jawa dan bahasa Belanda. Aku cuma mengerti tentang keampuhan kamus Gericke-Roorda mendefinisikan Jawa. Aku jadi ingin mendengar ocehan Padmasusastra (1843-1926) untuk bisa menjelaskan pengaruah kehadiran para sarjana bahasa dan pengkhotbah. Aku juga ingin mengetahui makna kamus Gericke-Roorda dalam semaian sastra Jawa di awal abad XX.
Aku sengaja berdoa di depan kamus. Aku ingin menerima wangsit agar memandang terang sejarah Jawa dan kolonialisme. Aku berdoa meski tanpa mata-bahasa. Begitu.

Javaansch-Nederlandsch 1

Javaansch-Nederlandsch 2

Halaman Kamus