Tag

, , , , , ,

Bandung Mawardi

Sehari membaca 3 buku: Prakapitalisme di Asia (Sinar Harapan, 1983) oleh J.H. Boeke;  Tuan, Hamba, dan Politisi (Sinar Harapan, 1983) oleh Keith R. Legg; Hakikat Kemiskinan Massa (Sinar Harapan, 1983) oleh John Kenneth Galbrath. Dulu, Sinar Harapan sering menerbitkan buku-buku tentang ilmu-ilmu sosial! Apik. Puluhan buku sudah ada di rumahku. Tiga buku itu sengaja aku baca untuk bekal menggarap esai-esai kecil.

Usai membaca tiga buku, aku berhadapan dengan buku lawas berjudul Perkembangan Kerukunan Tani: Warga Tani Sampai Tingkat Badan Pembangunan Desa Sukamadju-Kaler, Indihan, Tasikmalaja (Kementerian Pertanian-Djawatan Pembangunan Usaha Tani Bagian Pendidikan, Djakarta, 1955) oleh Alwi. 3 buku bersambut dengan buku lawas tentang desa dan pertanian.

IMG

Di buku pelajaran SD, aku ingat ada nama-nama desa menggunakan kata “suka”. Nama Sukamadju biasa dilengkapi dengan Sukamiskin. Ada juga Sukakamu dan Sukadia. Ha! Aku suka membaca dan memikirkan buku-buku bertema desa. Ijazahku berisi keterangan sarjana pendidikan, tapi aku memerlukan mengerti desa meski tak bekerja di LIPI, UGM, IPB… Desa selalu mengingatkanku dengan sawah, rumah, sungai, kerbau, pitik, burung, kenduren, pohon… Desa tentu memunculkan imajinasi gadis cantik, manis, bersahaja. Lho! Lihatlah, tokoh-tokoh perempuan di film televisi! Mereka cantik meski tak pantas memerankan menjadi gadis desa. Ah! Film-film cinta itu memanfaatkan desa untuk pamer eksotisme demi cerita tak keruan. Penghiburan picisan!

Sugiharto, pejabat di kementerian pertanian, mengakui: “Rakjat desa Sukamadjukaler (Tasikmalaja) aktif membangun!” Nama desa sudah membuktikan keinginan untuk maju terus alias membangun, hari demi hari. Kamu mau bukti? Buku ini memuat keterangan lugas tentang sejarah pembangunan di Sukamadju. Sebelum tahun 1945, Sukamadju telah memiliki organisasi tani bernama Rukun Tani, Setia Budi, Organisasi Tolong-Menolong, Koperasi Kredit, Bank Desa dan Lumbung Desa. Hebat! Siapa memberi nama Sukamadju, menggairahkan pendudukan desa untuk selalu maju? Nama itu penting. Desaku bernama Gedongan. Aku sendiri belum bisa mengartikan nama Gedongan. Aku warga baru, tak ada keterangan dari para tokoh desa.

IMG_0003

Sukamadju adalah desa agraris. Warga bermatapencaharian sebagai petani. Sawah jadi pusat kehidupan. Bertani tak cuma berpamrih ekonomi. Bertani menjadi percampuran ritual adat, ritual nasionalisme, ritual sosial, ritual…. Tata kelola sawah menentukan tatanan kehidupan. Modernisasi pertanian kadang memberi berkah meski tak bisa menghilangkan petaka. Orang-orang di Sukamadju dengan berorganisasi sadar mengenai sistem bertani demi kesejahteraan dan kebahagiaan, tanpa berlu mata duitan. Jerat kemiskinan memang bisa menimbulkan tindakan-tindakan fatal. Mereka berikhtiar hidup bersahaja, mengartikan bertani sebagai kehendak maju.

Mereka pernah kena jerat ijon. Bagaimana cara merampungi sistem keparat dengan memiskinkan dan merendahkan martabat petani? Organisasi bernama Kerukunan Tani memiliki misi menghapuskan ijon: “Dalam desa ini banjaknja orang jang biasa terkena idjon 365 orang dengan uang sebanjak Rp. 45.ooo,- atau dibajar dengan padi 450 kwintal. Usaha Kerukunan Tani untuk menolong orang-orang jang tedjual idjon ini adalah dengan djalan memberikan pindjaman uang diwaktu orang-orang itu memerlukan, biasanja pada waktu sawah sebelum menghasilkan.” Pinjaman itu berbunga rendah. Tindakan Kerukunan Tani melegakan, menghindarkan petani menjalani hidup (selalu) miskin.

IMG_0007

Pembentukan Warga Tani Sukamadju-Kaler (WTS) juga membuktikan ada kemauan mencipta kesejahteraan dan kemakmuran. WTS? Ha! Aku menduga singkatan WTS belum digunakan untuk urusan bisnis seks. WTS itu organisasi pertanian. Ingat! Aku bertambah kagum saat membaca profil Sukamadju sejak ada organisasi-organisasi dengan agenda-agenda pembangunan. Bagiku, buku ini memori desa di masa Orde Lama. Memoriku tentu berbeda dengan desa di masa Orde Baru saat dipimpin oleh Soeharto, Bapak Pembangunan Indonesia.

20 Juli 1953, di Sukamadju berlangsung rapat akbar, dihadiri 2500 orang. mereka memutuskan dengan suara bulat alias bukan kotak atau bukan lonjong bahwa WTS adalah “satu-satunja badan jang dipertjajai rakjat desa…. jang dapat memetjahkan masaalah kemakmuran dan melaksanakannja.” Ingat rapat desa, aku ingat gambar-gambar di buku pelajaran dan siaran TVRI di masa lalu. Siaran tentang desa sering menampilkan peristiwa di rapat atau bimbingan pertanian di balai desa, kolempencapir, panen bersama….

Peran WTS bisa diketahui dari pidato kader, berisi pengakuan-pengauan lugu: “Apa dan bagaimana sebenarnja orang tani kita di desa? Sebagian besar orang jang tinggal di desa adalah orang jang hidupnja dan pentjariannja ialah tani. Dapatkah saudara bajangkan bagaimana gambaran manusianja? Badan hitam, berpakaian serba hitam jang kumal, bertopi bambu atau pandan sedang memegang patjul ditengah kotakan sawah jang berlumpur. Apakah kekajannja? Istri dan anak-anaknja, rumah ketjil jang berisi beberapa helai tikar dan beberapa bidji bantal….”

Ah, aku jadi ingat lirik lagu Ebiet G. Ade berjudul Cita-Cita Kecil Si Anak Desa: “Aku pernah punya cita-cita hidup jadi petani kecil, tinggal di rumah desa dengan sawah di sekelilingku…” Aku bisa menikmati lagu balada tapi belum bisa melakoni balada sebagai petani. Dulu, simbok cuma buruh tani. Biografi hidupku tak memiliki sawah. Aku bisa jadi petani jika berniat dan mendapat petunjuk dari Tuhan. Amin. Aku bisa mengimajinasikan hidup sebagai petani tapi di rumah berperistiwa sebagai pembaca dan penulis. Oh! Di sawah berlumpur kata. Di rumah bergelimang pengharapan. Begitu.