Tag

, , , , , , ,

Bandung Mawardi

29 November-1 Desember 2013, ada 3 Hari Berhuruf di Bilik Literasi. teman-teman dari Jakarta, Jogjakarta, Solo, Kediri berkumpul dengan niat belajar membaca, menulis, bercakap. Agenda awal adalah membaca koran: mengurusi kepekaan atas berita, artikel, iklan. Sekian orang memilih berita dan artikel tentang mogok dokter. Aku sudah menduga bakal ada kecenderungan ke hal-hal aktual. M. Fauzi Sukri, pengajar di 3 Hari Berhuruf, merasa ada nuansa berpihak ke aktualitas ketimbang memilih berita-berita kecil atau iklan. Mengapa? Oh, mengapa?

Mereka saling bergantian memberi penjelasan dan argumentasi dari pilihan berita dan artikel. Puluhan orang tak sanggup omong dengan memikat, memicu godaan berpikir dan berimajinasi tentang tema untuk berlanjut ke garapan esai. M. Fauzi Sukri pun mengajak mereka bergerak ke pelbagai arah, mengurusi dokter berlatar pendidikan kedokteran di masa lalu, pembelajaran kesehatan bagi publik, produksi buku sebagai literasi kesehatan….. Kita tetap mengurusi dokter tapi tak harus berkaitan aksi mogok atau gegeran antara IDI dan MA. M. Fauzi Sukri mengajak teman-teman cuma mencomot berita, diurusi dengan perspektif bercabang agar ada refleksi dan taburan pesan tak klise. Wah!

Aku jadi ingat buku atau brosur berjudul Kesehatan Djiwa dalam Masjarakat Kita (Universitas Airlangga, 1959) oleh R.M. Soejoenoes. Buku ini berasal dari “Pidato pada peresmian penerimaan djabatan guru-besar dalam ilmu penjakit sjaraf dan djiwa pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaja pada hari Sabtu tanggal 18 Oktober 1958.” Pidato penting dan bersejarah, menilik publikasi hal-hal berkaitan kesehatan dan kedokteran. Aku menganggap buku ini bersinggungan dengan usul M. Fauzi Sukri. Publik memerlukan buku-buku atau edaran berisi tentang kesehatan dan kedokteran agar tak khilaf saat melihat ulah mogok dokter. Sip!

IMG

Pidato diawali dengan mengutip kalimat di plat besi berisi informasi penting: “Dilarang berdjualan disini menurut fatsal 5 ajat 2. Peraturan Kepolisian Kota Besar Surabaja. Plat itu terpasang di masa 1950-an, berkaitan pesan menjaga ketertiban di kota dan kesehatan. Pendjelasan Soejoenoes: “Ini adalah aturan jang baik sekali dari pemerintah kota, sebab dengan demikian pada tempat itu bahaja lalu-lintas akan berkurang, kesehatan pada tempat itu akan lebih terdjamin, atau pemandangan akan lebih sedap. Ini, kalau aturan ditaati. Akan tetapi apa latjur? Mungkin tempat itu tempat jang strategis, maka djustru ditempat itu orang-orang jang berdjualan. Bahkan tiang plat besi itu didjadikan salah satu tiang daripada warungnja.”

Suasana semrawut memang khas milik kota. Aku jadi bisa mengimajinasikan Surabaya di masa lalu. Apa hubungan tiang untuk plat berisi larangan dan warung? Aku harus mencari jawaban dan refleksi agar jadi esai tentang kota. Soejoenoes masih memberi informasi penting meski tak berkaitan kesehatan: “Pelanggaran-pelanggaran sebagai ini di Surabaja adalah legio. Lihatlah sadja dibawah plat besi dengan huruf P jang bertjoret, jang artinja tidak boleh berhenti disana, banjak tukang betjak bergerombolan dengan betjaknja setjara tidak teratur hingga membahajakan lalu-lintas.” Becak adalah masalah bagi ketertiban dan keindahan kota? Ah, aku jadi ingin menggarap esai becak mengisahkan kota. Lho!

Aku hampir tersesat, tak mengurusi lagi kesehatan. Aduh! Apakah kesehatan jiwa? Soejoenes memberi ilustrasi-jawaban: “Kalau seandainja ada seorang dewasa jang melakukan penipuan, penjuapan, korupsi, pelanggaran tata-tertib umum itu, maka orang tersebut terang adalah seorang … jang masuk golongan sakit djiwa.” Para koruptor dan tukang suap di DPR, kementerian, BUMN…. adalah pengidap sakit jiwa. Mereka harus diobati! Penjara, pemiskinan, penghinaan, pengucilan adalah obat? Mereka harus masuk rumah sakit dan disuruh tidur di ranjang selama seratus tahun?

IMG_0003

Sakit jiwa berkaitan negara. Sejak revolusi 1945, Indonesia mengalami goncangan-goncangan mengakibatkan orang-orang menderita sakit jiwa akibat situasi politik, krisis ekonomi, perang…. Peran dokter sangat diperlukan, memberi pertolongan bagi orang-orang agar tak mendekam abadi di rumah sakit jiwa.

Refleksi Soejoenoes mengenai relasi sakit jiwa dan Indonesia: “Karena negara kita masih muda, apakah penjakit-penjakit jang menghinggapinja itu dapat disamakan dengan ‘penjakit kanak-kanak’? Dan bila demikian, apakah tidak lebih baik anak itu dibiarkan sadja sakit hingga sembuh dengan sendirinja? Zogenaamd uit laten zieken?” Waduh, bahasa dari dokter masih memunculkan sisa-sisa aroma Belanda. Ah, aku jadi ingat STOVIA, instiusi pendidikan kedokteran di Hindia Belanda. Para pelajar pribumi tentu diharuskan bisa berbahasa Belanda.

Indonesia belum sembuh. Para pejabat masih sering sakit jiwa, sulit diobati meski sudah diperingatkan. Aku usul agar ada pemasangan plat besi di depan rumah para pejabat atau anggota parlemen. Plat itu berisi informasi: “Hindarilah niat dan tindakan buruk agar tak menimbulkan sakit jiwa!” Anggaran pemasangan plang besi bisa diambil dari APBN atau iuran publik. Plang itu berfungsi agar mereka tak jadi tukang suap atau koruptor.

Apakah demonstrasi dan mogok dokter termasuk gejala dari sakit jiwa? Aku tidak tahu dan enggan menjawab. Publik beranggapan mogok itu mengakibatkan kerugian dan sengsara. Ha! Aku tetap tak mau menjawab atau berargumentasi. Aku cuma ingin menggunakan keterangan Soejoenoes bahwa Indonesia mengalami “sakit jiwa” sejak lama, membutuhkan pengobatan dan keinsafan dokter untuk turut mengusahkan kesembuhan. Begitu.