Bandung Mawardi
Di Surakarta atau Solo, pujangga bernama Noto Soeroto dan Sastrokartono pernah menerbitkan majalah bernama Udaya. Alamat redaksi di Bromantakan 41, Surakarta, Jawa Tengah. Aku mengenali Noto Soeroto: pujangga Jawa berbahasa Belanda. Di buku-buku sejarah politik nasionalisme, Noto Soeroto adalah “orang ganjil’. Selama berkuliah di Belanda dan berinteraksi dengan para mahasiswa asal Indonesia, Noto Soeroto cenderung bermimpi Belanda bersanding Indonesia. Anggapan berseberangan dengan kalangan nasionalis. Dulu, di hadapan kaum mahasiswa di Belanda, Noto Soeroto pernah disidang dan “dihujat” akibat gagasan-gagasan politik. Aku membaca di sekian buku otobiografi para tokoh Perhimpunan Indonesia.
Noto Soeroto mengalami kegagalan dalam berpolitik tapi tampil sebagai pujangga bereferensi kejawaan. Di Belanda, Noto Soeroto menggubah puisi-puisi berbahasa Belanda: mengisahkan jagat perlambang Jawa. Ketidakberesan mengurusi politik, keluarga, bisnis mengantar Noto Soeroto ke Solo. Mangkunegoro VII memberi tempat hidup dan pekerjaan. Penerbitan majalah Udaya tentu rangkaian dari keinginan Noto Soeroto bisa berarti di jagat pers dan menjalani hidup pantas di Jawa. Aku menganggap ketokohan Noto Soeroto jarang mendapat perhatian publik. Nama bangsawan Jawa itu jarang diperbincangkan di buku sejarah politik, kesusastraan, pers. Kasihan…
Lambang majalah Udaya tampak indah dan religius: Borobudur dinaungi matahari bersinar. Aku mengoleksi Udaya No. 9-10, Januari – Februari 1950. Apakah koleksi majalah Udaya tersimpan di Mangkunegaran atau Monumen Pers? Apakah si sejarawan Solo memiliki informasi-informasi penting mengenai Udaya dan Noto Soeroto? Aku berharap kelak ada orang mau berbagi informasi dan mengajak publik mengenang Noto Soeroto meski sejenak. Di Solo, Noto Soeroto pernah menerbitkan risalah tentang swapraja. Risalah tipis untuk mengurusi politik, setelah Indonesia merdeka.
Aku sulit membaca tulisan-tulisan di Udaya. Berbahasa Belanda! Waduh, aku tak pernah belajar bahasa Belanda. Noto Soeroto memang “sombong”, mengaku Jawa tapi rajin menulis dalam bahasa Belanda. Ah, tokoh tinggalan masa silam. Ingat, para penggerak bangsa juga sering berbahasa Belanda ketimbang bahasa Jawa, sejak awal abad XX. Mereka berilmu dan berpolitik menggunakan bahasa milik penjajah agar melek literasi, modernitas, “kemadjoean”, nasionalisme…. Usai merdeka, para tokoh mulai memilih berkomunikasi dengan bahasa Jawa dan Indonesia. Eh, Noto Soeroto nekat berbahasa Belanda.
Lihatlah di daftar isi, artikel-artikel berbahasa Belanda. Aku pasti tak bisa membaca, cuma bisa memandang tanpa gairah mengerti. Aku membaca artikel-artikel berbahasa Indonesia dan puisi berbahasa Jawa saja. Ada tinjauan kesusastraan berjudul Kitab Ardjuna-Sasra karangan Rn. Ms. Sindusawarna. Tinjauan singkat dan aku kurang mengerti. Pemahamanku tentang sastra Jawa cuma sedalam liang kuburan. Ha! Sindusawarna menulis: “Kembali pada Ardjunasasra Jasadipuran. Di dalam kitab itu Resi Waisrawa digmabarkan agak kurang sopan lain daripada Waisrawa dalam Ardjunawidjaja….” Yasadipura I dan II sudah aku kenali dan pelajarai. Kitab-kitab gubahan mereka masih sedikit dalam koleksi bacaanku.
Aku memilih serius membaca artikel tentang dansa, menginformasikan situasi zaman. Ah, dansa. Aku tak pernah berdansa. Darmono Sastrohoebojo mengenang: “Sepuluh tahun jang lalu kami ingat bahwa dipusat kebudajaan Djawa (Solo) putera-puteri remadja jang sekarang sudah masuk golongan pemimpin-pemimpin rakjat, mengadakan pertemuan ramah-tamah dimana mereka berdansa. Surat kabar Darmokondo ketika itu menjatakan tidak setudju, karena berdansa itu tidak sopan katanja. Tetapi aliran kaum muda itu agaknja tidak dapat ditahan lagi. Malahan kalau kami tidak salah dengar ada seorang guru sekolah menengah di Djakarta ini jang mengandjurkan murid-muridnja untuk berladjar berdansa.” Di Jawa, tari-tari klasik masih dipertahankan berbarengan dengan kemunculan dansa. Aku tak terlalu berkepentingan melarang dansa. Ingat dansa, ingat Soekarno dan arus perubahan di Indonesia, sejak awal abad XX.
Di halaman 146, aku mendapatkan puisi-tembang berbahasa Jawa gubahan Bambang Pratiwi Putra. Aku mengutip bait mengenai Ranggawarsita: Wus winarah mring pudjangga/ Djajabaja Ranggawarsita esti/ Tanah Djawi wudjudipun/ Kadosdene hing mangkya/ Wiwit saking sirna rasa ngesti ratu/ Kalabendu ngedjawantah/ Ruwet-riwut gondjang-gandjing. Aku membaca seolah mendengar suara merdu dari penembang. Aku tidak bisa menembang tapi rajin bengok-bengok. Puisi-tembang Jawa sudah melintasi zaman demi zaman. Orang-orang masih bisa menikmati puisi-tembang Jawa meski mulai mendapat saingat dari dangdut koplo. Setahunan, aku hidup bersama dangdut koplo. Jiwa dan raga mesti bersabar dan merindui puisi-tembang: merdu, lembut, pelan.
Di halaman akhir, aku temukan pengumuman dari redaksi. Slogan Udaya adalah “Madjalah Indonesia Umum dan Merdeka.” Ada bujukan: “Pasanglah advertentie dalam madjalah Udaya! Pemasangan advertentie tentu menguntungkan karena madjalah ini tersebar dan terkenal diseluruh Indonesia serta luar negeri!” Aku menduga ada sedikit kebohongan dari redaksi. Majalah terkenal? Redaksi memang harus melebihkan agar ada popularitas. Di Solo, aku jarang melihat atau menemukan majalah Udaya. Para cendekiawan dan seniman di Solo pun jarang membicarakan Udaya di masa sekarang sebagai “kenangan”. Noto Soeroto terlalu mengumbar janji dan sombong. Begitu.