Tag
Bandung Mawardi, berita, g-30-s, majalah tempo, pembebasan pki, pramoedya ananta toer, sejarah pki, tahanan politik
Bandung Mawardi
Majalah lawas sering memberi ingatan-ingatan mengejutkan. Bermula dari melihat sampul aneh di Tempo edisi 24 Desember 1977. Aku melihat ada pagar berduri, cagak berlumut hijau. Ada judul menggunakan huruf berwarna merah: “10.000 Tahanan Dibebaskan”. Aku mulai mengingat malapetaka 1965. Aku menduga ada laporan-laporan penting berkaitan sejarah berdarah dan sejarah bergelimang marah. Aku pun bersiap membaca berita dan ulasan.
“Di ujung timur Indonesia, dua kapal jenis LST akan berada di tengah lautlepas pekan ini. Berlayar antara P. Buru dan Surabaya, isinya 1.500 tahanan G-30-S. Mereka telah dibebaskan. Mereka menuju Jawa.” Aku merasa bakal melihat adegan kapal di atas lautan bergerak sebagai adegan film hitam-putih: puitis dan dramatis.
Aku pun memikirkan wawancara antara Tempo dan Kaskopkamtib Laksamana Sudomo. Tempo: “Pernah bapak sebutkan bahwa sekitar 30 % dari mereka tergolong dalam ‘kepala batu’. Dari golongan manakah umumnya mereka?” Sudomo menjawab: “Tidak saja tergantung pada umur, tetapi juga pada kedudukan mereka dalam partai. Yang kepala batu inilah yang dimasukkan dalam klasifikasi K (keras).” Tempo: “PKI dikatakan punya anggota 2 juta. Berapa kader yang sudah ditangkap dan berapa yang ditaksir masih ada di luar?” Sudomo menjawab: “Berapa jumlah kader itu tidak ada yang mengetahui, karena kader itu disumpah oleh dua orang dan tidak ada daftarnya. Melalui pemeriksaan baru diketahui apakah seseorang pernah disumpah menjadi kader atau tidak. Kader itu kadang-kadang bukan resmi yang ditonjolkan. Ini sukar diketahui karena mereka bekerja dengan sistim sel. Masih banyak kader yang di luar dan sampai sekarang kita tidak pernah menemukan daftarnya.” Aku sering mendapat keraguan saat membaca buku-buku berkaitan malapetaka 1965. Aku telanjur menerima informasi-informasi selama saat bersekolah. Kemauan mempelajari buku-buku kritis tentang PKI justru memberi greget mengenang sejarah di persimpangan kebenaran.
Buku-buku pengakuan pelaku dan korban sering membuatku kaget. Pustaka Utan Kayu menerbitkan seri-seri biografi mengacu malapetaka 1965. Aku bersedih saat membaca tanpa tergesa membuat konklusi. Dulu, aku pernah mbrebes saat membaca pengisahan Mia Bustam. Ada peristiwa-peristiwa ganjil. Mia Bustam menjalani pelbagai hukuman dengan pengaharapan. Sedih terus berlanjut saat aku membaca asmara Mia Bustam dan Sudjojono bertalian dengan kesejarahan seni dan PKI. Oh…
Di pemberitaan utama Tempo ada aliena akhir: “Kini pemerintah telah setahap demi setahap membebaskan para tahanan yang tak bisa dibawa ke pengadilan. Mereka diberi keleluasaan untuk tinggal di tempat pemukiman, secara suka rela, kalau mau. Dengan itu dibuktikan, bahwa selain pertimbangan hukum dan kemanusiaan masih berlaku di sini. Memang, sebuah kabar baik.” Aku membaca Tempo terlambat dari jadwal terbit. Sekarang, aku belum berterima dengan penggunaan ungkapan: “kabar baik”.
Di halaman “Tamu Kita” aku mendapat kabar dan pengakuan dari keluarga para tahanan. Berita dibuka dengan alenia tak mengandung “kabar baik”, mengenai sang pengarang Bumi Manusia: “Pengarang Pramudya Ananta Toer ternyata tak termasuk 10.000 tahanan G-30-S yang dibebaskan, ‘karena pertimbangan tertentu.’ Menurut sebuah sumber, ‘kadar ideologi’ Pram dianggap masih tinggi. Juga sehubungan dengan penerbitan bukunya di Malaysia – belum jelas buku yang mana dan apa dengan ijinnya. Itulah sebabnya Maimunah Toer (49), isterinya, tidak mendapat pemberitaan apa-apa. Sepuluh hari sebelum hari pembebasan, konon keluarga yang ditinggalkan sudah diberitahu.”
Aku sering terlambat mengikut bacaan-bacaan mengenai sejarah buruk di Indonesia. Buku-buku sejarah saat di sekolah tak membuatku tergoda mempelajari sejarah dengan pelbagai perspektif. Pemahaman tentang PKI tentu luput. Informasi-informasi di pelbagai koran dan majalah turut memberi asupan pemahaman. Aku pun terlambat mendapat dokumentasi dari koran dan majalah, bermaksud merasakan getar perasaan saat membaca pada masa-masa lampau.
Sekarang, keputusan membeli dan mengoleksi pelbagai buku, koran, majalah berkaitan malapetaka 1945 mulai memberi ajakan membuat tafsir kritis. Aku tak mau mengaku sebagai ahli sejarah. Bacaan-bacaan menjadi bekal untuk membuat cerita tak seturut dengan ciptaan Orde Baru. Aku masih memerlukan keterangan-keterangan utuh. Koleksi buku mesti bertambah dan bertambah. Ah, agenda sinau selalu mengikutkan ambisi-ambisi belanja buku, berlanjut membaca dan menulis.
Tempo edisi pembebasan tahanan memberi sejumput informasi, menggerakkan diriku mencari serpihan-serpihan informasi. Aku tak ingin suntuk mempelajari PKI. Aku cuma menginginkan pemahaman kritis agar saat membaca sejarah Indonesia “tak terpeleset” akibat sebaran narasi-narasi mengandung manipulasi dan muslihat. Aku terus berharapan memiliki teman-teman sebagai pemberi keterangan untuk memberi penguatan dalam membaca buku-buku berkhasiat, buku-buku memanggil sejarah. Ah, sejarah terus menggoda tapi aku tak berpredikat sebagai ahli sejarah. Aku cuma lelaki bergairah mencumbui sejarah. Begitu.