Tag
Bandung Mawardi, Buku, cuku sejarah, gunung agung, jj rizal, pelajaran sejarah, sejarah indonesia
Bandung Mawardi
11 Desember 2013, JJ Rizal dolan ke Bilik Literasi. Malam dingin dan berangin. Sejarawan ampuh asal Betawi itu masuk rumah dengan wajah tampak lelah, tubuh ingin terbaring. Di atas karpet, kita bercakap bersama teman-teman. Ada martabak, gorengan, terang bulan… Buku juga bertebaran. JJ Rizal sambil berbaring mendongeng pelbagai peristiwa dan tokoh. Pendongeng hebat! Sejarawan memang harus pintar ngoceh. JJ Rizal pantas jadi pengisah sejarah, laris tampil di televisi dan berkelana ke pelbagai kota. Sip!
Ingat JJ Rizal, ingat buku-buku sejarah. JJ Rizal adalah pembaca dan kolektor ribuan buku sejarah. Aku pun bersaing, menjadikan buku-buku sejarah sebagai penghuni rumah. Aku merangsang obrolan. Aku juga meladeni ajakan JJ Rizal membicarakan pelbagai hal sambil mulutku batuk-batuk. Oh! Sakit? Tubuh merasa demam sejak sore.
Obrolan menggoda berkaitan buku dan kontribusi penerbit bernama Gunung Agung (Jakarta) dalam sejarah literasi di Indonesia. Aku pamer ingatanku tentang buku-buku biografi terbitan Gunung Agung. JJ Rizal malah pamer pernah belanja buku-buku obralan Gunung Agung, 6 kardus. Waduh! Aku merasa kalah meski tak bakal selesai melakukan perburuan buku-buku terbitan Gunung Agung. Tuhan, perkenankan aku membaca dan mengoleksi ratusan buku terbitan Gunung Agung agar aku pisa pamer cerita ke JJ Rizal. Amin.
Aku lekas pamer informasi mengacu koleksi buku-buku pelajaran sejarah di masa lalu. Eh, JJ Rizal masih bisa ajukan informasi mengejutkan: para sarjana asing sudah mulai melakukan penelitian buku-buku pelajaran di Indonesia. Aduh! Pamer memang berbalas pamer. Aku merasa ada imbangan saat bercakap dengan JJ Rizal, mulai dari buku sampai urusan lelaki. Ha!
Aku membaca lagi buku pelajaran berjudul Tanah Airku: Sedjarah Indonesia (W. Versluys N.V. Jakarta, 1959) “saduran” oleh Moeljono Dwidjoloekito. Buku ini untuk “sekolah rakjat”. Buku setebal 110 halaman, bekal bagi para guru mengajarkan sejarah ke murid-murid. Moeljono Dwidjoloekito mengakui: “Memang kami berpendapat kebanjakan buku-buku peladjaran sedjarah jang telah terbit sekarang ini pada umumnja masih kurang memuaskan.” Sombong? Aku menduga ada sejenis “kesombongan” berdalih memberi pujian untuk buku garapan sendiri. Oh!
Apakah alasan Moeljono Dwidjoloekito? Aku membaca dengan curiga ada klise: “pertama, karena buku-buku itu pada umunja terlalu ‘tinggi’ tingkatnja, dalam arti terlalu banjak bahan jang diberikannja dan terlalu sulit menjadikannja, sehingga hampir tak ada bedanja dengan apa jang diadjarkan di SMP atau sekolah jang lebih tinggi lagi. Kedua, seringkali ternjata djuga bahwa pengetahuan penulis-penulisnja sendiri tentang sedjarah tanah air kita masih kurang.” Penulis memang harus memiliki otoritas dan arogansi, mengajukan buku dengan argumentasi-argumentasi telak meski klise. Aku sulit menerima susunan kata berisi pamrih “merendahkan” buku-buku dan penulis-penulis lain tapi “meninggikan” diri.
Aku bisa membuktikan ragu itu saat membaca uraian di buku. Daftar isi memuat judul-judul bab: Tanah Airku, Sriwidjaja, Barabudur, Mataram, Airlangga, Ken Arok, Kertanagara, Gadjah Mada, Agama Islam, Fatahillah, Sultan Agung Mataram, Iskandar Muda. Aku bukan lulusan jurusan sejarah atau guru sejarah. Daftar isi itu sudah menerangkan kompetensi penulis. Selusin bab tak mengandung greget agar pembaca terpesona.
Aku agak geli saat membaca bab Ken Arok. Moeljono Dwidjoloekito menerangkan: “Ken Arok seorang penjamun jang gagah, berani dan tjerdik. Tentera dan polisi Tunggul Ametung selalu mengedjar dan mentjari dia, tetapi tidak pernah ia dapat ditangkap. Bahkan, pradjurit-pradjurit Tunggul Ametung itu tidak pernah melihat dia dari dekat, sehingga tidak ada jang tahu benar wadjah Ken Arok.” Aku mengimajinasikan Ken Arok adalah orang sangar, sakti, misterius… Sambungan pengisahan: “Achirnja Ken Arok djemu hidup sebagai penjamun, dikedjar-kedjar dan ditjari-tjari terus-menerus dan selalu terantjam djiwanja.” Ken Arok jemu? Wah, penulis telah sembrono mengisahkan Ken Arok. Aku menduga Pram bakal tertawa jika membaca buku Tanah Airku: Sedjarah Indonesia. Lho!
Aku tak bermaksud menganggap isi buku ini jelek. Aku cuma ingin mengetahui efek dari pembelajaran sejarah di sekolah. Apakah buku bisa mengajak murid memiliki imajinasi ke masa lalu meski sajian fakta sering meragukan? Buku ini memiliki faedah jika dipahami oleh guru, diimbuhi lacakan pelbagai referensi. Harapan ini bisa sirna jika pembaca mencari halaman daftar pustaka. Moeljono Dwidjoloekito tak membuat halaman daftar pustaka. Weh! Pengakuan bahwa buku Tanah Airku: Sedjarah Indonesia adalah saduran semakin tak jelas. Moeljono Dwidjoloekito tak memberi informasi lengkap.
Moeljono Dwidjoloekito menginginkan: “Buku ini boleh dipandang sebagai ‘buku batjaan’ (leesboek) biasa, tetapi maksudnja jang pertama ialah ‘buku batjaan peladjaran’ (leer-leesboek), jang disertai suatu ringkasan pada tiap-tiap peladjaran.” Aku tak mengerti maksud Moeljono Dwidjoloekito. Buku ini “meragukan” tapi penting untuk dipelajari, berharap bisa menulis esai mengenai makna dan pengaruh buku-buku pelajaran sejarah dalam mempengaruhi murid agar memiliki rujukan berindonesia. Buku dari masa lalu tak basi jika dibaca, merangsang hasrat menulis berdalih gandrung sejarah. Begitu.